Abstrak
Hukuman mati selalu menjadi perdebatan menarik setiap kali terpidana
mati dieksekusi. Eksekusi mati bagi Sumiarsih dan anaknya Sugeng, pelaku pembunuhan
Letkol Purwanto dan keluarganya pada tahun 1988, bagi Usep alias Muhamad
Tubagus Yusuf Maulana (40), dukun pembunuh delapan warga Tangerang, serta pelaku tunggal pembunuhan sadis dengan menggunakan
martil, Rio Alex Bullo (30), sudah dilaksanakan termasuk eksekusi bagi Imam
Samudra cs pelaku pemboman Bali 1 yang juga dijatuhi hukuman yang serupa.
Mengenai hukuman mati, banyak kalangan yang setuju, namun tidak sedikit yang
menolak.
Kata kunci : Pidana mati, HAM
Latar Belakang.
Penegakan hukum
adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma
hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan
hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau darui sudut
subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat
pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum
dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada
norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan
hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya
diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan
memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu
diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya,
yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang
luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai
keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tatapi dalam arti sempit, penegakan hukum
itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena
itu, penerjemahan perkataan Law enforcement ke dalam bahasa indonesia
dalam menggunakan perkataan Penegakan Hukum dalam arti luas dapat pula
digunakan istilah Penegakan Peraturan dalam arti sempit. Pembedaan antara
formalita aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang
dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa inggris sendiri dengan
dikembangkannya istilah the rule of law
atau dalam istilah the rule of law and not of a man versus istilah the
rule by law yang berarti the rule of
man by law Dalam istilah the rule of
law terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya
yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di
dalamnya. Karena itu, digunakan istilah the
rule of just law. Dalam istilah the
rule of law and not of man, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada
hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum,
bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah the rule by law yang
dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar
sebagai alat kekuasaan belaka.
Bermacam-macam cara pemidanaan ataupun ancaman hukuman yang dalam hal ini
hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan hukum. Pidana mati merupakan salah
satu jenis cara penegakan hukum pidana yang paling kontroversial didunia. Dari
jaman Babilonia hingga saat ini, hukuman tersebut masih digunakan sebagai salah
satu sanksi bagi mereka
yang dituduh/terbukti melakukan satu tindak kejahatan. Tidak ada catatan yang
pasti menyatakan awal digunakannya hukuman mati.
Pidana mati dapat dikatakan sebagai pidana yang paling kejam, karena tidak
ada lagi harapan bagi terpidana untuk memperbaiki kejahatannya (Djoko Prakoso,
1987: 32). Eksekusi pidana mati sepanjang sejarah dilaksanakan dengan berbagai
macam cara. Ketika manusia masih dalam tingkat pemikiran dan teknologi yang
belum semaju seperti sekarang ini, caranya sungguh kejam dan tidak
berperikemanusiaan kalau kita menilainya dari sudut pandang masa kini.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan manusia, teknologi pun semakin
berkembang pesat. Namun demikian, masih belum ada kata sepakat tentang cara
pelaksanaan pidana mati. Hal ini disebabkan eksekusi pidana mati akan tetap
menyentuh sumber emosi manusia yang paling dalam.
Sampai sejauh ini beberapa penelitian sejarah menemukan bahwa pidana mati
telah digunakan pada abad 18 Sebelum Masehi (SM) dalam hukum yang diberlakukan
oleh Raja Hammurabi dari Babilonia, terdapat 25 kasus kejahatan yang dijatuhi
pidana mati. Pada abad 14 SM hingga 5 SM, pidana mati juga diberlakukan di
Athnea (Dracodian Code) dan Kerajaan Romawi (Twelve Tablet).
Pidana mati tersebut dilakukan dengan berbagai cara yang cukup keji dalam
pandangan modern seperti; penyaliban, penenggelaman, penyiksaan hingga tewas,
dibakar, dan lain-lain.
Pada abad ke-10, hukuman mati dengan cara digantung menjadi metode yang
digunakan di dataran Inggris. Pada abad berikutnya, Raja William tidak
mengizinkan hukuman mati kecuali dalam kondisi perang. Akan tetapi, pada abad
ke-16 kondisi ini kemudian berbalik. Dibawah rezim Raja Henry ke-16,
diperkirakan sekitar 72 ribu orang dihukum dengan cara direbus (dimasak),
dibakar, digantung, dipenggal, dipisahkan anggota tubuhnya dengan cara ditarik
dan lain-lain. Hukuman ini dijatuhkan dengan alasan pelanggaran hukum seperti
menikahi orang Yahudi, tidak mengakui kejahatannya, dan pengkhianatan. Pada saat yang
sama, kondisi yang tidak jauh berbeda terjadi saat terjadi gerakan Pencerahan
di Perancis. Titik awal berkembangnya pemikiran modern ditandai dengan tragedi.
Alih-alih memperjuangkan kebebasan warga (Habeas Corpus), banyak
kaum oposisi yang dianggap sebagai penentang revolusi Perancis terutama
kalangan bangsawan dan kalangan gereja dihukum mati dengan cara dipenggal di guillotine.
Salah satu cara yang masih digunakan sampai saat ini adalah dengan hukum
gantung. hukuman ini masih dijalankan atau diberlakukan di Irak, Arab Saudi,
Indonesia dan Malaysia. Dengan alasan untuk mengurangi rasa sakit yang dialami
oleh mereka yang menjalaninya, pidana mati kemudian dilakukan berbagai cara
yang dianggap lebih manusiawi. Pidana dengan regu penembak masih menjadi cara
dibeberapa negara termasuk Indonesia. Pada tahun 1890, Negara bagian New York,
Amerika Serikat mengembangkan kursi listrik dan awalnya dilakukan di pada tahun
1890 untuk mengeksekusi Raja William. Sampai saat ini, hanya negara bagian
Nebraska yang memberlakukan kursi listrik sebagai metode. Pada tahun 1924,
negara bagian Nevada kemudian menggunakan kamar gas dengan sianida. Terakhir,
hukuman ini digunakan pada tahun 1999. Terakhir adalah dengan suntik mati.
Negara bagian Oklahoma adalah wilayah yang pertama memberlakukan hukuman mati
dan melaksanakan hukuman tersebut pada tahun 1982 kepada Charles Brooks. Cara
terakhir ini kemudian mulai dijadikan oleh beberapa negara sebagai metode
hukuman mati.
Dalam lingkup masyarakat internasional, pengakuan terhadap hukuman mati
hampir tidak mempunyai tempat pada masyarakat yang demokratis dan berbudaya.
Komisi PBB memberikan tanggapannya sebagai berikut: “Walaupun
hukuman mati belumlah dilarang berdasar hukum internasional, kecenderungan
terhadap pelarangan tersebut sangatlah jelas. Diadopsinya Opsional Kedua
Kovenan Internasional terhadap Hak Sipil dan Politik tahun 1989 yang bertujuan
untuk menghapuskan hukuman mati merupakan pengakuan yang sangat jelas oleh
masyarakat internasional terhadap kebutuhan untuk menghilangkan penggunakan
pidana mati secara total dan keseluruhan.” http://jurnalhukum.blangspot.com/2007/05
Hingga
Juni 2006 hanya 68 negara yang masih menerapkan praktek hukuman mati, termasuk
Indonesia, dan lebih dari setengah negara-negara di dunia telah
menghapuskan praktek hukuman mati. Ada 88 negara yang telah menghapuskan
hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman
mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara negara malakukan moratorium
(de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan
abolisi (penghapusan) terhadap hukuman.
Studi
ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa
hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya.
Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang
hubungan antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan,
praktek hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan
efek jera pada pidana pembunuhan. Tingkat kriminalitas berhubungan erat dengan
masalah kesejahteraan atau kemiskinan suatu masyarakat dan dan berfungsi atau tidaknya
institusi penegakan hukum.
Terdapat berbagai macam pendapat tentang hukuman mati baik itu yang setuju ataupun yang
tidak setuju, dalam hal ini suatu contoh terdapatnya ketentuan HAM sebagai
dasar pelaksanaan dan pemenuhan hak-asasi manusia. Yang menjadi permasalahan
pandangan HAM terhadap hukuman mati karena pada intinya hukuman mati adalah
penghilangan nyawa seseorang. Berdasarkan uraian diatas, dalam makalah ini
penulis bagaimana
kebijakan formulasi hukuman mati dalam hukum positif di Indonesia? dan Bagaimana
penerapan hukuman mati ditinjau dari aspek HAM?
Kebijakan formulasi hukuman mati dalam hukum positif di
Indonesia
a. Pemidanaan dan Pidana Mati
Yang dimaksud hukuman
atau pidana ialah “suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh
hakim dengan suatu vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum
pidana”. (R. Soesilo, 1993, hlm: 35).
Menurut filsafat, tujuan
hukuman itu bermacam-macam tergantung dari sudut mana persoalan tersebut
ditinjau:
1). Emmanuel Kant mengatakan bahwa hukuman adalah suatu pembalasan berdasarkan
atas pepatah kuno “siapa membunuh harus dibunuh”. Pendapat ini biasa disebut
“teori pembalasan” (vergelding-theorie)
2). Feurbach antara lain berpendapat bahwa hukuman
harus dapat menakuti orang supaya jangan berbuat jahat. Teori ini biasa disebut
“teori mempertakutkan” (afchrikkings-theorie).
3). Penulis lain berpendapat bahwa hukuman itu dimaksudkan pula untuk
memperbaiki orang yang telah berbuat kejahatan. Teori ini biasa disebut “teori
memperbaiki” (verbetering-stheorie).
4). Selain itu ada penulis-penulis yang mengatakan bahwa dasar dari penjatuhan
hukuman itu adalah pembalasan, akan tetapi maksud-maksud lainnya (mencegah,
menakut-nakuti, mempertahankan tata tertib kehidupan bersama, memperbaiki orang
yang telah berbuat) tidak boleh diabaikan. Mereka adalah penganut teori yang
disebut “teori gabungan” (verenigings-theorie).
Secara sederhana maka tujuan hukum pidana adalah:
1).Untuk menakut-nakuti orang agar jangan sampai melakukan
kejahatan, baik secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventie)
maupun secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan,
agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventie);
atau
2). Untuk mendidik
atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan,
agar menjadi orang yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat.
Sebagai masyarakat
modern yang beradab maka sudah selayaknya tujuan generale preventie dari
suatu pidana harus lebih dipertimbangkan daripada sekedar menjadikan pidana
sebagai sarana untuk membalas dendam. Hal ini misalnya terlihat pada lebih
dipilihnya istilah Lembaga Pemasyarakatan oleh pembentuk undang-undang untuk
menggantikan istilah Penjara. Demikian pula dengan dikembangkan sistem
pemidanaan alternatif berupa “kerja sosial” yang dikembangkan di Amerika
Serikat dan beberapa negara Eropa.
Sehubungan dengan
pandangan mengenai general preventie dan teori “tujuan” menurut Leo
Polak pidana harus memenuhi 3 syarat:
1). Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang
bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum
obyektif (objective betreurenswaardigheid).
2).Hukuman
hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Hukuman tidak boleh
memperhatikan apa yang mungkin akan atau dapat terjadi. Jadi, hukuman tidak
boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi. Umpamanya dijatuhkan dengan
maksud prevensi, maka adalah kemungkinan besar penjahat diberi suatu penderitaan
(onlust) yang beratnya lebih dari pada maksimum yang menurut
ukuran-ukuran objektif boleh diberi kepada penjahat.
3). Sudah tentu, beratnya hukuman harus seimbang dengan
beratnya delik. Beratnya hukuman tidak boleh melebihi beratnya delik. Hal ini
perlu supaya penjahat tidak dihukum secara tidak adil! Harus ada suatu
‘verdiend leed’, tidak kurang tetapi juga tidak lebih.
(E. Utrecht, 1958, hlm: 168)
(E. Utrecht, 1958, hlm: 168)
Pertanyaan yang
berabad-abad belum terjawab adalah apakah sebenarnya tujuan dari adanya
pemidanaan termasuk didalamnya pidana mati. Ada yang memberikan jawaban yaitu
“untuk memperbaiki penjahat”, kalau memang itu tujuannya berarti tidak ada
tempat lagi bagi pidana mati dan pidana seumur hidup untuk dapat memperbaiki
diri.
Menurut
penulis bahwa tujuan dari adanya pemidanaan dalam hak ini pidana mati, antara lain: Tujuan
pemberlakuan hukuman mati untuk memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan.
Dari aspek kemanusiaan, hukuman mati diperlukan guna melindungi masyarakat dari
perbuatan orang jahat.
b. Pengaturan hukuman
mati dalam hukum positif di Indonesia
Pasal 10 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) membedakan dua macam pidana: pidana pokok dan
pidana tambahan, yaitu:
a. Pidana pokok:
1. Hukuman mati
2. Hukuman penjara
3. Hukuman kurungan
4. Hukuman denda
b. Pidana tambahan:
1. Pencabutan beberapa hak yang tertentu
2. Perampasan barang yang tertentu
3. Pengumuman keputusan Hakim
Dengan demikian, maka
pidana mati di dalam hukum positif di Indonesia merupakan merupakan pidana
pokok.
Kejahatan-kejahatan yang
diancam dengan hukuman mati di dalam KUHP misalnya ;
1). Pasal 104 KUHP: Makar membunuh kepala Negara;
2). Pasal 111
ayat (2) KUHP: Mengajak Negara Asing untuk menyerang Indonesia;
3). Pasal 124
ayat (3) KUHP: Memberikan pertolongan kepada musuh pada saat Indonesia dalam
keadaan perang;
4). Pasal 140
ayat (4) KUHP: Membunuh kepala Negara sahabat;
5). Pasal 140
ayat (3) dan Pasal 340 KUHP: Pembunuhan yang direncakan lebih dahulu;
6). Pasal 365
ayat (4) KUHP: Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih bersekutu
pada waktu malam hari dengan cara membongkar dan sebagainya, yang mengakibatkan
seseorang mengalami luka berat atau mati;
7). Pasal 444
KUHP: Pembajakan di laut, di pesisir, di pantai dan di kali, sehingga mengakibatkan
orang mati ;
8). Pasal 124 bis KUHP: Dalam waktu perang menganjurkan
huru-hara, pemberontakan dan sebagainya antara pekerja-pekerja dalam perusahaan
pertahanan negara ;
9). Pasal 127 dan 129 KUHP: Dalam waktu perang menipu waktu
menyampaikan keperluan angkatan perang;
10).Pasal 368
ayat (2) KUHP: Pemerasan dengan pemberatan ;
Sebagai bahan komparatif
sekaligus menerawang perkembangan pemikiran dalam pengaturan pidana mati di
Indonesia, ada baiknya juga apabila kita menyimak ketentuan naskah Rancangan
KUHP baru sebagai Jus Constituendum, antara lain sebagai berikut :
1). Pidana Mati
dilaksanakan oleh regu tembak dengan menembak terpidana sampai mati;
2). Pelaksanakan
pidana mati tidak dilaksanakan di muka umum;
3). Pidana mati
tidak dijatuhkan kepada anak di bawah umur delapan belas tahun;
4). Pelaksanaan
Pidana mati terhadap wanita hamil atau orang sakit jiwa ditunda sampai wanita
tersebut melahirkan atau orang sakit jiwa tersebut sembuh;
5). Pidana mati baru
dapat dilaksanakan setelah ada persetujuan Presiden dan Penolakan Grasi oleh
Presiden;
6). Pelaksanaan
pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama sepuluh tahun, jika;
a) Reaksi masyarakat terhadap terpidana mati terlalu besar
b) Terpidana
menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk memperbaiki
c) Kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting
d) Ada alasan
meringankan
7). Jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan
perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur
hidup dan pidana penjara paling lama dua puluh tahun dengan keputusan menteri
kehakiman.
8). jika terpidana selam masa percobaan tidak menunjukkan
sikap dan perbuatan yang terpuji tidak ada harapan untuk memperbaiki maka
terpidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
9). jika setelah permohonan Grasi ditolak, pelaksanaan
pidana mati tidak dilaksanakan selama sepuluh tahun bukan karena terpidana
melarikan diri maka terpidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur
hidup dengan Keputusan Menteri Kehakiman. (Bambang Waluyo, 2000, hlm: 14-15).
Hukuman mati dikaji menurut perspektif Hak Asasi
Manusia.
a. Kejahatan yang
diancam hukuman mati (pelanggaran HAM berat)
1) Genosida
Istilah genosida pertama
kali diperkenalkan oleh Dr. Raphael Lemkin (dalam Arie Siswanto, 2005 : 48) pada tahun 1944. Secara etimologis
istilah ini istilah ini berasal dari kata Yunani yaitu geno yang berarti
ras dan kata latin cidium yang bermakna membunuh. Meskipun terdapat
berbagai macam pengertian ataupun definisi mengenai genosida namun sebagian
besar pengertian yang mengatur tentang genosida adalah tetap mencerminkan kedua
elemen etimologik tersebut.
Genosida selalu
dikaitkan dengan pembunuhan terhadap etnis ataupun ras, menurut Goldstein
(dalam Arie Siswanto, 2005 : 48) mensejajarkan genosida dengan pembersihan
etnis (ethnic cleansing) yang merupakan tindakan mengusir atau
memusnahkan kelompok religius atau kelompok etnis tertentu. Meski terdapat
berbagai macam pengertian dan juga perbedaan di dalamnya, namun menurut penulis
dapat diketahui bahwa genosida dapat menyangkut dua hal yang pertama, secara
obyektif istilah tersebut menunjuk pada tindakan pemusnahan masal, dan kedua
secara subyektif yang menjadi target ataupun sasaran adalah kelompok tertentu. Definisi yang lebih komprehensif
dapat ditemukan di dalam Convention on The Prevention and Punishment of The
Crime of Genocide (dalam Arie Siswanto, 2005 : 49) yang diterima oleh
Majelis Umum PBB pada tanggal 9 Desember 1948. Konvensi tentang genosida
tersebut merupakan salah satu upaya masyarakat internasional untuk membasmi ataupun
menghambat genosida yang dianggap sebagai kejahatan internasional, bertentangan
dengan tujuan PBB dan penduduk dunia (crime under international law,
contrary to the spirit and the aims of The United Nations and condemned by civilized
world).
Adapun pengertian tentang genosida yang
terdapat dalam Konvensi Genosida menyatakan bahwa (dalam Arie Siswanto, 2005 :
49) In the present convention, genocide means any of the following act
commited with intent to destroy, in whole or in part, a national, ethnical,
racial or religius groups such as : killing members of the group, causing
serious bodily or mental harm to members of the group, deliberetly inficting on
the group condition of life calculated to bring about its physical destruction
in whole or in part, imposing measures intended to prevent births within
the group, forcibly treansfering children of the group to another group.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas,
untuk memudahkan dalam mempelajari dapat penulis terjemahkan sebagai berikut :
Genosida berarti perbuatan untuk menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa, etnis, ras atau agama yang mempunyai unsur-unsur seperti.
a. Membunuh anggota kelompok.
b. Menimbulkan
penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok.
c. Sengaja
menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang mengakibatkan kemusnahan.
d. Tindakan paksa
pencegahan kelahiran terhadap kelompok.
e. Pemindahan paksa
anak-anak dari kelompok tertentu kepada kelompok lain.
Bertitik tolak pada
definisi tersebut, Yoram Dienstein (dalam Arie Siswanto, 2005 : 50) menyatakan
bahwa esensi dari genosida bukanlah pemusnahan kelompok target secara aktual,
melainkan kehendak untuk memusnahkan kelompok tersebut sehingga menimbulkan dua
konsekuensi logis. Pertama, ketika suatu kelompok dimusnahkan tanpa si pelaku
mempunyai kehendak untuk menimbulkan akibat tersebut genosida dianggap tidak
ada. Kedua, pembunuhan terhadap seorang individu bisa saja diketegorikan
sebagai genosida manakala pembunuhan tersebut merupakan bagian dari serangkaian
tindakan yang bertujuan untuk memusnahkan kelompok tempat individu tersebut
menjadi bagiannya.
Menurut Konvensi
Genosida Tahun 1948 kelompok yang dapat menjadi sasaran genosida adalah
kelompok rasial, kelompok religius, kelompok nasional, dan kelompok etnis yang
mempunyai berbagai macam kriteria. Keenam kriteria ini adalah sebagai berikut.
a. Kelompok itu
memiliki nama sendiri sebagai cerminan indentitas kolektif.
b. Mereka yang
menjadi anggota kelompok itu meyakini bahwa mereka berasal dari nenek moyang
yang sama.
c. Mereka yang
menjadi anggota kelompok itu merasa bahwa mereka memiliki pengalaman sejarah
yang sama.
d. Kelompok itu
memiliki budaya yang sama.
e. Kelompok itu
haruslah merasa memiliki keterkaitan dengan wilayah tertentu.
f. Para anggota
kelompok haruslah menganggap diri mereka sebagai suatu kelompok.
Kebanyakan orang meyakini bahwa konflik etnis
dipicu oleh masalah yang sederhana dan jelas, yakni kebencian turun temurun (ancient
hatreds) yang ada diantara kelompok etnis yang berlainan. Statuta Roma 1998
secara literal juga mengadopsi definisi genosida yang terdapat di dalam
konvensi 1948. Artikel
6 Statuta Roma antara lain menyebutkan bahwa.
“…genocide means any of the following acts committed
with intent to destroy, inwhole or in part, a national, etnical, racial or religious
group, as such:
a.
killing members or
group.
b.
Causing serious
bodily or mental harm to member of the group.
c. Deliberately
inflicting on the group conditional of life calculated to bring about its
physical destruction in whpole or in parts.
d. Imposing
measures intented to prevent births within the group.
e.
Forcibily
transferring children of the group to another group.
Lebih jauh lagi Statuta Roma 1998 juga menegaskan
bahwa yang dapat memikul pertanggung jawaban pidana bukan hanya mereka yang secara individual langsung
melakukan tindakan genosida, melainkan juga.
a. Mereka yang
secara bersama-sama melakukan genosida dan mereka yang melakukan genosida
melalui orang lain.
b. Mereka yang
memerintahkan, meminta atau mendorong dilakukannya genosida yang kemudian
benar-benar terjadi atau dicoba untuk dilakukan.
c. Mereka yang
membantu pelaksanaan genosida atau percobaan genosida, termasuk menyediakan
sarana untuk itu;
d. Mereka yang
secara sengaja memberikan sumbangan bagi pelaksanaan atau percobaan genosida.
e. Mereka yang
secara langsung dan secara terbuka mendorong orang lain untuk melakukan
genosida.
f. Mereka yang
mencoba melakukan genosida dan telah mulai melakukan tindakan mewujudkan
tindakan genosida, namun tindakan genosida yang dikehendaki itu tidak dapat
terwujud karena adanya factor-faktor diluar diri pelaku. Dalam konteks ini.,
seseorang yang secara sengaja dan sukarela menarik diri dari melakukan percobaan
genosida tidak akan dijatuhi pidana.
Dalam rumusan yang lebih
singkat, sebenarnya substansi Statuta Roma 1998 mengenai persekongkolan, penyertaan, pembantuan, dan percobaan
melakukan genosida juga dimuat didalam komvensi genosida, statuta ICTY, dan statuta
ICTR. Secara persis, ketiga instrumen hukum itu mewujudkan bahwa yang dapat
dikenai pidana adalah mereka yang melakukan.
a. Genocide.
b. Conspiracy to commit genocida.
c. Direct and public incitement to commit
genocide.
d.Attempt to commit genocide.
e. Complicity in genocide.
2) Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
Istilah “ kejahatan terhadap kemanusiaan “ (crimes
against humanity) sebagai suatu kategori dari kejahatan internasional mulai
dikenal didalam join declaration pemerintah Perancis, Inggris, dan Rusia
pada tanggal 28 mei 1915. Pernyataan bersama dari tiga Negara ini dibuat untuk
mengutuk tindakan Turki yang membantai lebih dari satu juta warga turki dari
keturunan Armenia. Oleh pernyataan bersama itu, tindakan pembantaian terhadap
orang-orang Armenia itu disebut sebagai “kejahatan terhadap peradaban dan kemanusiaan” (crimes
against civilization and humanity).
Kodifikasi yang lebih jelas terhadap tindakan
yang tergolong sebagai “kejahatan terhadap peradaban dan kemanusiaan” ini selanjutnya
dimuat di dalam Konstitusi Mahkamah Kejahatan Perang Nurenberg yang dibentuk di
penghujung Perang Dunia II. Seraya menegaskan bahwa “kejahatan terhadap
kemanusiaan” merupakan hukum internasional yang berkembang melalui kebiasaan,
Konstitusi Mahkamah Nuremberg menyatakan bagwa “kejahatan terhadap kemanusiaan”
mencakup tindakan-tindakan, “…..murder, extermination, enslavement,
deportation, and another in humaneacts committed agains any civilian
population, before or during the war, or persecution on political, racial or
religious grounds in execution of or in connection with any crime within the
jurisdiction of the tribunal, whether or not in violation of the domestic law
of the country where perpetrated”.
Dalam Statuta Roma 1998 terdapat perluasaan
pengaturan pengertian tentang kualifikasi kejahatan dalam perkosaan yaitu diperluas
juga dengan perbudakan seksual, prostitusi paksa, kehamilan paksa, sterilisasi
paksa, ataupun bentuk lain dari kekerasan seksual yang sama berat. Penulis
menyatakan pendapat bahwa kejahatan kemanusiaan merupakan perbuatan dengan
sengaja sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis ditujukan
terhadap penduduk sipil, dan kejahatannya tersebut antara lain :
a.
Pembunuhan
Yaitu serangan yang ditujukan terhadap penduduk sipil yang dapat
diartikan bahwa sebagaimana
perbuatan tersebut terdiri dari serangkaian tindakan yang berkaitan dengan atau
merupakan tindak lanjut dari kebijakan suatu negara ataupun organisasi
internasional untuk melakukan kejahatan pembunuhan tersebut.
b.
Pemusnahan
Dalam hal ini pemusnahan dapat diartikan sebagai tindakan yang juga
meliputi penerapan kondisi tertentu yang bersifat mengancam kehidupan secara
sengaja, antara lain berupa mengahambat akses terhadap makanan, dan juga
obat-obatan yang diperkirakan dapat membawa kehancuran bagi sebagian atau seluruh penduduk.
c.
Perbudakan
Perbudakan dapat diartikan sebagai segala bentuk pelaksanaan hak milik
terhadap obyek yang berupa orang, termasuk tindakan menyangkut obyek tersebut, khususnya
perempuan dan anak-anak.
d.
Deportasi
Deportasi ataupun pemindahan paksa yang dalam hal ini dikenakan
terhadap penduduk dapat diartikan
sebagai tindakan yang merelokasi penduduk melalui pengusiran atau cara
kekerasan lain dari tempat dimana penduduk tersebut secara sah berada, tanpa
dasar yang bisa dibenarkan oleh hukum internasional
e. Pencabutan kebebasan sewenang-wenang
pencabutan kebebasan secara sewenang-wenang dapat diartikan pemotongan
ataupun pengaturan kebebasan individu untuk mentukan nasib sendiri, yang kesemuanya
diatur secara menyeluruh dengan disertai ancaman baik itu secara fisik maupun
psikis.
f.
Penyiksaan
Menurut Arie Siswanto (2005 : 63) penyiksaan yaitu pengenaan rasa sakit
atau npenderitaan fisik maupun mental secara sengaja atas seseorang yang ditahan atau berada di bawah kekuasaan pelaku.
Meski
demikian rasa sakit atau penderitaan yang bersifat inheren, incidental,
atau semata-mata muncul dari pengenaan sanksi yang sah tidak dapat
diketegorikan sebagai penyiksaan
g. Pemerkosaan atau kejahatan seksual
lainnya
dalam hal ini dapat dicontohkan kehamilan secara
paksa yang bertujuan untuk mendapatkan etnis baru dan memusnahkan etnis lama yaitu
penyekapan secara tidak sah atas seorang perempuan yang dibuat hamil secara
paksa, dengan maksud mempengaruhi komposisi etnis suatu populasi. Namun hal
tersebut tidak dapat ditafsirkan mempengaruhi hukum nasional yang menyangkut
kehamilan.
h.
Penganiayaan atau
penindasan
Penindasan dapat dimaknai sebagai penyangkalan
keras secara sengaja terhadap
hak-hak dasar manusia dengan cara yang bertentangan dengan hukum internasional
dengan dasar identitas kelompok atau identitas kolektif.
i. Penghilangan paksa
Penghilangan
secara paksa dapat diartikan bahwa pemusnahan ataupun penghilangan terhadap
kelompok etnis ataupun individu tertentu yang dianggap tidak sesuai denga ras
tertentu dan hal tersebut bertujuan untuk mengurangi populasi suatu etnis tertentu.
Yang dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai penangkapan, penahanan, atau
penculikan terhadap seseorang atau kelompok tertentu atas dasar wewenang dan
dukungan atau persetujuan suatu negara ataupun organisasi politik yang kemudian
diikuti penolakan dari pelaku untuk mengakui perampasan kemerdekaan tersebut
untuk memberi keterangan tentang keberadaan orang yang ditangkap, ditahan,
ataupun diculik tersebut dengan maksud menjauhkan orang-orang yang dirampas
kemerdekaannya tersebut dari perlindungan hukum dalam waktu yang relatif lama
j.
Apartheid
Yaitu tindakan tidak manusiawi yang memiliki karakter yang sama dalam
tindakan pemusnahan missal yang dalam hal ini berdasarkan warna kulit, yang
dilakukan dalam konteks penindasan sistematik yang terlembagakan dan dalam
konteks dominasi suatu kelompok rasial atas kelompok rasial lain dengan maksud
untuk mempertahankan rezim yang melakukan penindasan tersebut.
b. Analisis hukuman
mati menurut ketentuan internasional Hak Asasi Manusia.
Jika dikaji lebih
mendalam sesuai dengan ketentuan DUHAM, terdapat beberapa pasal didalam DUHAM
yang tidak memperbolehkan hukuman mati, antara lain:
Berdasarkan Pasal 3 ” Setiap
orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan, dan keamanan pribadi ”. Bentuk
yang paling ekstrim dari pelanggaran hak untuk hidup ini ialah pembunuhan atau
melukai jasmani atau rohani dari seseorang ataupun dari kelompok ( Leah Levin, 1987: 45).
Hukuman mati jelas telah melanggar pasal ini, dimana orang yang dijatuhi
hukuman mati telah dirampas kehidupannya, kemerdekaannya, keamanan pribadinya.
Bagaimanapun juga hukuman mati adalah hukuman yang sangat melanggar hak untuk
hidup bagi manusia sebagai makluk ciptaan Tuhan. Dapat dilihat banyak
orang yang telah dijatuhi hukuman mati, antara lain koruptor di Cina, Saddam
Hussein, ataupun lainnya. Namun seperti kasus Rwanda dan Yugoslavia pelaku
pelanggaran HAM hanya diganjar dengan hukuman maksimal pidana seumur hidup, karena
hukuman mati di jaman modern ini mulai ditinggalkan oleh negara-negara di
dunia, meskipun masih ada beberapa negara yang masih melaksanakannya dengan
berbagai cara, seperti digantung, ditembak, dan disuntik. Bagaimanapun caranya
hukuman mati tetap saja melukai diri dan mengambil hak hidup dari seseorang.
Jika pidana mati
ditinjau menurut Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil politik yaitu Pasal 6
ayat (1) Pada setiap insan manusia melekat hak untuk hidup. Hak ini harus
dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun insan manusia yang secara gegabah boleh
dirampas kehidupannya. Seperti halnya dijelaskan pada Pasal 3 DUHAM bahwa
pelaksanaan eksekusi mati, telah melanggar pasal 6 ayat (1), eksekusi mati pada
dasarnya menimbulkan kesakitan fisik dan dirampasnya hak hidup dari seseorang,
dan ini yang bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1) ICCPR dan Pasal 3 DUHAM.
Meskipun banyak negara belum menghapuskan hukuman mati antara lain Indonesia,
Cina dan negara Irak belum menghapuskan hukuman mati, yang menjadi permasalahan
adalah tidak adanya pemenuhan dan pengaturan yang jelas terhadap pelaksanaan
pidana hukuman tersebut baik itu dalam proses penangkapan maupun dalam
pelaksanaan pemeriksaan di persidangan, sehingga hal tersebut bertentangan
dengan konsep the rule of law dimana terdapatnya pengaturan yang jelas
baik itu persamaan kedudukan di muka hukum dan juga terdapatnya peradilan yang
bebas dan tidak memihak yang berimberimplikasi kekuasaan kehakiman yang
merdeka.
Pasal 6 ayat (2) Kovenan Internasional Tentang
Hak Sipil Politik menyatakan bahwa di negara-negara
yang belum menghapuskan hukuman mati, putusannya dapat diberikan hanya untuk
kejahatan yang paling berat, sesuai dengan undang-undang yang berlaku pada
waktu kejahatan demikian dilakukan, dan tanpa melanggar suatu ketentuan dari
Kovenan ini dan Konvensi Tentang Pencegahan dan Penghukuman
Kejahatan Pemusnahan (suku) Bangsa. Hukuman ini hanya boleh dilaksanakan dengan
putusan terakhir dari pengadilan yang berwenang.
Lebih lanjut Pasal 6
ayat (4) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik mengatur bahwa Seseorang
yang telah dihukum mati harus mempunyai hak untuk memohon pengampunan atau
keringanan hukuman. Amnesti, pengampunan, atau keringanan hukuman mati dapat
diberikan dalam segala bab. Dalam hal ini menurut uraian diatas penulis
mencoba berpendapat dengan memperhatikan beberapa aspek, karena dalam memahami
suatu peraturan hendanknya diperhatikan aspek filosofis, sosiologis, dan
yuridis dalam dilakukannya ataupun diterapkannya pidana mati, meskipun dalam HAM
hukuman mati dilarang karena tidak sesuai dengan Pasal 3 DUHAM dan juga banyak
dari negara di dunia yang telah menghapuskan hukuman mati.
Di samping pengaturan
tentang hak dasar yaitu hak untuk hidup yang diatur dalam DUHAM tersebut yang
dalam hal ini dihubungkan dengan hukuman mati, terdapat pengecualian terhadap
pelaksanaan hak tersebut yaitu dengan adanya pemahaman mendalam terhadap adanya
derogable rights, yaitu dalam hal yang pertama ”a public emergency
which treatens the life of nation” dapat dijadikan dasar untuk membatasi
pelaksanaan hak-hak kebebasan dasar, dengan syarat bahwa kondisi keadaan
darurat (public emergency) tersebut harus diumumkan secara resmi (be
officially proclaimed), bersifat terbatas serta tidak boleh diskriminatif.
(Muladi, 2004 : 101).
Hal tersebut diatur
secara limitatif dalam Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik,
dalam Pasal 4 ayat (1) ICCPR menyatakan, dalam keadaan darurat umum yang
mengancam kehidupan bangsa dan terdapatnya keadaan darurat tersebut telah diumumkan
secara resmi, negara-negara pihak pada kovenan ini dapat mengambil upaya-upaya
yang menyimpang (derogate) dari kewajiban mereka berdasarkan kovenan
ini, sejauh hal itu dutuntut oleh situasi darurat tersebut, dengan ketentuan
bahwa upaya-upaya tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban negara-negara
pihak itu menurut hukum internasional, dan tidak menyangkut diskriminasi
berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan asal-usul
sosial, sehingga vonis mati yang dijatuhkan terhadap Saddam tidak bertentangan
dengan Pasal 3 DUHAM, karena kejahatan yang dilakukan adalah kejahatan HAM
berat dan memenuhi ketentuan Pasal 4 ICCPR.
c. Alasan yang menyatakan setuju dengan dilaksanakannya
pidana mati terhadap pelaku kejahatan.
1) Pidana mati menjamin
bahwa si penjahat tidak akan berkutik lagi. Masyarakat tidak akan diganggu lagi
oleh orang ini sebab “mayatnya telah dikuburkan sehingga tidak perlu takut lagi
terhadap terpidana”.
2) Pidana mati
merupakan suatu alat represi yang kuat bagi pemerintah.
3) Dengan alat
represi yang kuat ini kepentingan masyarakat dapat terjamin sehingga dengan demikian
ketentraman dan ketertiban hukum dapat dilindungi.
4) Terutama jika pelaksanaan eksekusi di depan umum diharapkan timbulnya rasa
takut yang lebih besar untuk berbuat kejahatan.
5) Dengan
dijatuhkan serta dilaksanakan pidana mati diharapkan adanya seleksi buatan
sehingga masyarakat dibersihkan dari unsur-unsur jahat dan buruk dan diharapkan
akan terdiri atas warga yang baik saja.
Dukungan hukuman mati didasari argumen
diantaranya bahwa hukuman mati untuk pembunuhan sadis akan mencegah banyak
orang untuk membunuh karena gentar akan hukuman yang sangat berat. Hukuman penjara memungkinkan penjahat bisa jera dan juga bisa membunuh lagi jika tidak jera. pada hukuman mati penjahat pasti
tidak akan bisa membunuh lagi karena sudah dihukum mati dan itu hakikatnya
memelihara kehidupan yang lebih luas. Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang
merupakan residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena
ringannya hukuman.
Makna penjara sudah
bergeser dari tempat menjalani hukuman menjadi tempat atau lembaga
pemasyarakatan yang sedapat mungkin jauh dari praktek-praktek kekerasan.
Akibatnya, kebanyakan penjahat tidak mendapatkan efek jera dan malah sebaliknya
menganggap bahwa masuk penjara merupakan hal yang biasa sehingga memungkinkan
untuk dapat mengulangi perbuatannya. Dan bahkan banyak diantara mereka justru
menulis di baju kaos yang dicetak secara khusus dengan tulisan “Alumni Cipinang, Alumni Nusa Kambangan”dsb.
Hal ini membuktikan bahwa, LP gagal mengubah karakter jahat seseorang ke arah
yang lebih baik. Seringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada
sisi kemanusiaan terhadap pelaku tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban
sendiri, keluarga, kerabat ataupun masyarakat yang tergantung pada korban. Penjatuhan pidana mati
hingga saat ini masih mendapat tempat ditengah-tengah masyarakat khususnya
terhadapa kejahatan yang digolongkan berat. Lain halnya bila memang
keluarga korban sudah memaafkan pelaku tentu vonis bisa diubah dengan prasyarat
yang jelas.
Praktek hukuman mati di
juga kerap dianggap bersifat bias, terutama bias kelas dan bias ras. Di Amerika
Serikat, sekitar 80% terpidana mati adalah orang non kulit putih dan berasal
dari kelas bawah. Sementara di berbagai negara banyak terpidana mati yang
merupakan warga negara asing tetapi tidak diberikan penerjemah selama proses
persidangan. Dalam hal ini hukuman mati merupakan suatu penghilangan nyawa
seseorang dikarenakan orang yang bersangkutan melakukan kesalahan ataupun yang
sering disebut melakukan suatu tindak pidana.
Penulis berpendapat bahwa ada pandangan yang tidak
berimbang dan tidak fair dari
kelompok yang menolak dengan hukuman mati yang hanya melihat dari sisi hak hidup dari terpidana
mati tanpa melihat perbuatan dari terpidana sebelumnya yang juga telah merampas
hak hidup orang lain. Dalam penjatuhan pidana, harus seimbang antara perbuatan
dengan pidana yang dijatuhkan serta mempertimbangkan tiga aspek antara lain
aspek keadilan hukumnya, aspek kepastian hukumnya serta aspek manfaatnya.
Sebagai ilustrasi,
seorang melakukan pembantaian secara sadis terhadap tiga anggota keluarga yang
mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Dengan demikian, maka sesungguhnya
pelaku telah merampas hak hidup orang lain secara sadis yang juga bertentangan
dengan Hak Asasi Manusia. Maka sangat tidak adil jika hanya melindungi hak
hidup terpidana mati tanpa melihat hak hidup korban yang sudah dirampas oleh
pelaku.
Dari segi asas
manfaatnya, pelaku pembunuhan sadis apapun modus operandinya apabila hanya
dijatuhi pidana penjara maka akan berdampak pada masyarakat secara luas. Tidak
menutup kemungkinan orang lain juga akan melakukan kejahatan yang sama karena
merasa dapat dilindungi hak hidupnya dengan menggunakan issu HAM, meskipun
perbuatannya telah menghilangkan nyawa orang lain secara sewenang-wenang.
Untuk
itu, pidana mati masih dibutuhkan pada kasus-kasus tertentu yang digolongkan
pada kejahatan berat atau sadis. Hukuman bukan sebagai pembalasan dendam,
tetapi harus dapat mengubah pola pikir dan karakter jahat seseorang kearah yang
lebih baik. Selain itu, hukum harus adil pada pelaku tindak pidana juga harus
adil pada korban tindak pidana.
PENUTUP
Kesimpulan
1. Hukuman mati
masih diterapkan di Indonesia dan tertuang dalam hukum positif Indonesia yaitu
Pasal 10 KUHP dan termasuk sebagai pidana pokok, hal tersebut juga didukung dengan
kualifikasi tindak pidana yang bisa dikategorikan ataupun diancam dengan pidana
mati antara lain tindakan makar, ataupun mengajak negara asing untuk menyerang
Indonesia begitu juga dalam UU Narkotika, Terorisme, Tindak Pidana Korupsi masih terdapat
pengaturan pidana mati.
2. Hukuman mati
atau yang sering disebut dengan pidana mati bertentangan dengan ketentuan
internasional hak asasi manusia terutama Pasal 3 DUHAM yaitu hak untuk hidup.
Namun terdapat pengecualian dari Pasal tersebut yaitu Pasal 4 ayat (1) ICCPR derogable
right yang pada intinya hukuman mati dapat dilaksanakan dengan kualifikasi
kejahatan tersebut membahayakan publik.
DAFTAR PUSTAKA
Afif Hasbullah. 2005. Politik
Hukum Ratifikasi Konvensi Ham Di Indonesia Upaya Mewujudkan Masyarakat Yang
Demoktatis. Lamongan : UNISDA.
Andi Hamzah dan
Sumangelipu.1985. Pidana Mati di Indonesia dii Masa Lalu, Kini, dan di Masa
Depan. Jakarta :
Ghalia Indonesia.
Anonim. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal
Declaration of Human Right) 1948
_______. Kovenan
Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on
Civil and Political Right).
_______. 2007. Legalitas
Pidana Mati. .http://blog.360.yahoo.com /blogFY.YCdA3eqJBaePF0zjgLK9R?p=6.
[12 September 2007]
Arie Siswanto. 2005. Yuridiksi
Material Mahkamah Kejahatan Internasional. Bogor : Ghalia Indonesia.
Bambang Sunggono dan
Aries Harianto. 2001.
Bantuan Hukum Dan Hak Asasi Manusia. Bandung : Mandar Maju.
Boer Mauna. 2003. Hukum
Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global.
Bandung : Alumni.
Davidson, Scott. Hak
Asasi Manusia. 1994. Jakarta : Grafiti.
Djoko Prakoso. 1987. Masalah
Pidana Mati (Soal Jawab). Jakarta: Bina Aksara.
Esmi Warassih, 2005. Pranata
Hukum Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang : Suryandaru Utama.
Haribertus Jaka Triyana.
2007. Materi Kuliah Hukum HAM Internasional. Program Studi Pascasarjana
Fakultas Hukum UGM. Yogyakarta. : UGM.
Kansil. 1989. Pengantar
Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
KOMNASHAM. 1993. Lembar
Fakta HAM. Jakarta : Komnasham.
Levin, Leah. 1987. Tanya
Jawab Soal Hak Asasi Manusia. Jakarta: Pradnya Paramita.
Mansyur Effendi. 2005. Perkembangan
Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi
Manusia (HAKHAM). Bogor : Ghalia Indonesia.
Muladi (ed). 2005. Perkembangan
Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi
Manusia (HAKHAM). Bogor: Ghalia Indonesia.
Pan Mohamad Faiz. 2007.
Hukuman Mati dan Hak Untuk Hidup.
http//jurnalhukum.blangspot.com/2007/05/penelitian-hukum-hukuman-mati-dan-hak.html.
[10 Agustus 2007].
Prasetyo Hadi P. 2005. Teaching
Materials Hukum dan Hak Asasi Manusia.Surakarta : Prodi Hukum Program
Pascasarjana. UNS.
_______.2003. “Hukum
Humaniter Internasional”.Hand out. Surakarta: FH UNS.
Soetandyo
Wignjosoebroto. 2002. Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalah.
Jakarta : ELSAM.
Wikipedia. 2007. Hukuman
Mati. <http:wikipedia,org//wiki/hukuman_mati>.
2006. Menit-Menit
Menjelang Hukuman Gantung Saddam.
http//jurnalhukum.blangspot.com/2007/05/penelitian-hukum-hukuman-mati-dan-hak.html.[2Agustus
2007]
Posting Komentar