Abstrak
Korupsi terjadi secara sistemik, meluas dan
hampir terjadi di semua lembaga dan yang lebih menyedihkan korupsi justru
tumbuh subur pada lembaga penegak hukum itu sendiri yakni, Kejaksaan,
Kepolisian, Peradilan termasuk lembaga yang memiliki otoritas untuk membuat
Undang-Undang yakni DPR. Dengan demikian, pemberantasannya harus menekankan pada
perubahan sistem yang komprehensif yang menekankan pada perbaikan dalam rumusan
materi Undang-Undang Tipikor yang mengedepankan kewajiban pengembalian kerugian
negara dari hasil kejahatan korupsi sesuai dengan keadaan semula dan denda
sebesar jumlah uang yang dikorupsi yang disertai dengan penyitaan asset dan
atau pidana kerja sosial. Dengan demikian, koruptor bukan sekadar dipidana akan
tetapi sebuah upaya pemiskinan terhadap koruptor. Hanya dengan cara ini, efek
jera bisa lebih memungkinkan untuk terwujud.
Kata kunci : Kejahatan Korupsi, Pemiskinan
Koruptor
Latar Belakang
Korupsi
beberapa tahun terakhir selalu menjadi topik perbincangan, sorotan bahkan
seolah menjadi momok yang menakutkan bagi siapapun bahkan isu-isu tentang
strategi pemberantasannya dibahas mulai dari warkop-warkop hingga pada forum
tingkat nasional dan bahkan tingkat internasional melalui berbagai konvensi
internasional terkait dengan upaya memberantas korupsi khususnya di Indonesia
dan seluruh negara-negara di dunia pada umumnya. Pada pemilihan presiden bulan
Juli 2009 lalu, isu pemberantasan korupsi
selalu masuk nominasi sebagai salah satu agenda utama dari tiap pasangan capres
dan cawapres untuk menarik simpati masyarakat.
Upaya
melawan prilaku koruptif telah dilakukan dengan berbagai cara mulai dari
reformasi lembaga-lembaga hukum yakni peradilan, kejaksaan dan kepolisian,
pembaruan-pembaruan hukum dan yang ekstrim adalah pembentukan lembaga Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002. Dengan
hadirnya lembaga ini, diharapkan menjadi super
hero dalam rangka memerangi korupsi.
Kehadiran
KPK ternyata oleh sebagian kalangan menganggap bahwa lembaga ini menakutkan dan
membahayakan bagi kelangsungan hidup para koruptor dan para calon koruptor . Akibatnya,
eksistensi KPK mendapat tantangan yang luar biasa. Terbukti dengan adanya upaya untuk menganputasi
kewenangan yang dimilki oleh KPK termasuk beberapa kasus yang divonis bebas
oleh hakim tipikor yang ditangani oleh KPK. Sehingga, pemberantasan korupsi
hari ini kembali kandas sehingga dibutuhkan solusi alternatif.
Perkembangan Korupsi
Tindak pidana korupsi di Indonesia
sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke
tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara
maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta
lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Ahmad Ali, (2002)
mengungkapkan bahwa kekuasaan berpotensi atau cenderung korup, kekuasaan harus
dibingkai dengan “rambu-rambu hukum”. Agar tidak korup, kekuasaan di jalankan
dengan sistem yang baik dan manusia yang mempunyai ahlak dan moral yang tinggi
sehingga kekuasaan di jalankan sesuai dengan fungsi dan tujuanya.
Menurut Moh Askin, 2003 bahwa kekuasaan butuh control
atau pengawasan, istilah sentralistik, monopolistik, kekuasaan tunggal, tanpa
aturan atau apapun penamaan kekuasaan (internal maupun eksternal), sehingga
menjadi potensi dan jalan (teori peluang/kesempatan) menuju puncak sukses corruption. Korupsi terjadi karena
adanya penyimpangan (deviation of power),atau
penyalahgunaan kekuasaan (detournement de
pouvoir or abuse of power). Monopoli kekuasaan cenderung mendorong
terjadinya penyimpangan, atau penyalahgunaan kewenangan.
Merampingkan
atau menghindarkan kekuasaan yang berpotensi korup, tidak sekadar dilakukan
dengan jalan memisahkan (separation) atau
membagi (distribution) kepada
institusi atau organ lain, tetapi lebih penting adalah bagaimana agar
kekuasaan-kekuasaan itu tidak ditentukan atau diputuskan sendiri oleh
seseorang. Juga, melibatkan
stakholder atau pihak masyarakat (partisipasi public), dalam bentuk
keikutsertaannya melakukan pengawasan. Kekuasaan itu harus dibingkai dalam
koridor hukum, kekuasaan harus merupakan sub-ordinat dari hukum dan bukan sebaliknya.
Tidak
berlebihan apabila dalam teori kekuasaan dikatakan, bahwa hukum tanpa ditunjang
oleh kekuasaan adalah angan-angan dan bagaikan “singa ompong”, sedangkan kekuasaan tanpa dibatasi oleh
aturan-aturan hukum adalah kesewenang-wenangan atau kezaliman (anarkis).
Senada
dengan penjelasan tersebut diatas, Lord Acton (Arif Budiman, 2000) dalam
bukunya A Study in Conscience and politic
menyatakan bahwa “kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak korup secara
mutlak” (the power tends to corrupt,
absolute power corrupts absolutely).
Terjadinya Korupsi.
Berbagai
upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi mulai dari upaya
pembaruan-pembaruan hukum, peningkatan kapasitas terhadap para penegak hukum,
namun tingkat korupsi di Indonesia bukannya semakin berkurang akan tetapi
semakin berkembang dengan pesat baik dari jumlah pelakunya serta nilai
korupsinya juga semakin besar dan sudah dilakukan secara sistematis dan meluas
ke berbagai aspek dan hampir semua tingkatan lembaga. Ironisnya justru di
lembaga-lembaga penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan) menjadi suatu
realitas dimana tingkat korupsinya menempati podium teratas yang sangat sulit
dibuktikan melalui prosedur atau sistem hukum yang berlaku. Bukan saja karena
praktik korupsi itu dilakukan oleh orang-orang yang menguasai seluk beluk
peradilan, tetapi juga karena praktik korupsi tersebut terjadi di institusi
yang memiliki otoritas untuk menentukan sebuah tindakan dapat dikategorikan
sebagai kejahatan atau bukan. Karena, korupsi melibatkan semua aktor di dalamnya mulai dari Polisi, Jaksa,
Hakim, dan Panitera, bahkan terjadi di semua tingkatan, juga pengacara dan
masyarakat pencari keadilan itu sendiri. Para pelaku praktik korupsi di
lembaga-lembaga peradilan senantiasa berlindung di balik klaim otoritas independensi
lembaganya, apakah itu yang dimiliki oleh Pengadilan, Kejaksaan, maupun
Kepolisian.
Keterjalinan diantara aktor-aktor
itu dari waktu ke waktu telah terbangun sedemikian rupa, sehingga nyaris menyerupai
organisasi mafia yang terorganisir meskipun tidak berbentuk. Sudah menjadi
rahasia umum suatu perkara perdata atau pidana serta perkara yang berkaitan
dengan hukum apapun pada dasarnya bisa "diatur" oleh pemesan mulai
dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, putusan hakim hingga
peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Bahkan dalam prakteknya, ketika memutus
perkara pengadilan ibarat lembaga balai lelang, yakni tergantung siapa yang
berani bayar paling tinggi. Walaupun beberapa kasus-kasus penyimpangan putusan
pengadilan juga karena ada faktor intervensi politik. Umumnya orang menilai
korupsi di lembaga pengadilan ini disebabkan karena gaji yang rendah, sistem
rekruitmen dan karier yang kolutif, dan sistem pengawasan internal dan sanksi
yang tidak dilakukan secara profesional, serta diperparah dengan sistem
administrasi pengadilan yang tidak transparan.
Terjadinya
korupsi di Indonesia akibat buruknya
kinerja birokrasi di Indonesia. Birokrasi yang berbelit-belit dan
panjang dapat menimbulkan terjadinya KKN dan ini terjadi dihampir semua lembaga
dan bahkan semua aspek baik ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum dan
sebagainya. Selain itu, alasan klasik terjadinya korupsi di Indonesia selalu
dikaitkan dengan pola rekruitmen pegawai, gaji rendah dsb. Pola rekruitmen
pegawai yang tidak sehat pasti akan melahirkan nepotisme, dari nepotisme akan
melahirkan kolusi dan pada akhirnya akan bermuara pada korupsi. Sementara itu,
alasan pejabat melakukan korupsi karena rendahnya gaji perlu pengkajian yang lebih
mendalam. Menurut penulis, kecenderungan manusia memiliki sifat yang tidak puas
terhadap apa yang dimiliki sehingga tidak akan pernah merasa berkecukupan. Pada
umumnya, sebelum orang mengikatkan diri dalam sebuah institusi sebagai pegawai,
sudah mengetahui kisaran gaji yang dihasilkan. Bagi mereka yang merasa
kebutuhannya tidak terpenuhi, tentu harus memilih pekerjaan yang lain. Untuk
itu, rendahnya gaji tidak bisa dijadikan alasan pembenar untuk dapat melakukan
korupsi.
Setelah
tumbangnya orde baru, demokrasi semakin didengun-dengunkan dan ironisnya
korupsi tumbuh subur dan berkembang dengan pesat. Dari hasil survey pada tahun 2006 oleh berbagai lembaga
internasional PERC yang menempatkan Indonesia masuk dalam peringkat 10 besar
Negara terkorup di dunia dan nomor 1 di Asia dari 12 negara. Pada tahun
sebelumnya yakni pada tahun 2005, Indonesia masih peringkat 3 negara terkorup
di Asia. Dan negara terbersih adalah
Singapura disusul Jepang, Hongkong, Taiwan dan Korea. (Ahmad Rustan, 2009 :
3)
Dikaitkan
dengan pertanyaan pada pendahuluan diatas, mengapa korupsi menjadi pusat
perhatian? Dari berbagai hasil penelitian terdapat fakta bahwa korupsi secara
umum dapat merugikan perekonomian dan keuangan Negara yang akibatnya terjadi
ketimpangan yang mencolok. Di negeri yang korup, maka disitulah kita akan menemukan
realitas dimana Negara dikuasai oleh beberapa orang saja dan rakyat yang hidup
dibawah garis kemiskinan semakin melarat dan terpinggirkan
Dari gambaran diatas diperoleh kesimpulan
bahwa latar belakang terjadinya korupsi di Indonesia disebabkan karena :
a. Penegak hukumnya; integritas penegak hukum yang rendah
sehingga dalam proses penegakan hukum tindak pidana korupsi tidak menimbulkan
efek jera dan bahkan di lembaga paling korup justru terjadi pada lembaga penegak hukum.
b. Undang-undangnya; produk UU yang ada masih lemah
dan memuat
pasal-pasal karet sehingga terdapat celah untuk dapat melepas pelaku korupsi dari jeratan hukum.
c. Budaya hukum masyarakat; sanksi moral atau sosial yang diperankan oleh masyarakat apabila melihat
prilaku busuk khususnya pelaku korupsi sudah mulai luntur.
Ketiga
komponen sistem hukum diatas merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan yang harus senantiasa sejalan dan searah.
Sistem hukum tidak akan berjalan sesuai koridornya apabila salah satu, atau dua
diantaranya atau bahkan ketiganya tidak berjalan dengan baik. Meningkatnya
tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja
terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa
dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis
juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat,
dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan
sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa.
Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara
biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.
Sistem Pidana Denda Bagi
Koruptor
Pidana adalah salah satu dari sekian sanksi yang bertujuan untuk menegakkan
berlakunya norma. Peanggaran norma yang berlaku dalam masyarakat menimbulkan
perasaan tidak senang yang dinyatakan dalam pemberian sanksi tersebut.
Berdasarkan KUHP, hukum pidana dibedakan dalam pidana pkok dan pidana tambahan.
Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan
pidana denda. Sedangkan pidana tambahan adalah pencabutan beberapa hak
tertentu, disitanya barang-barang tertentu dan diumumkannya putusan hakim.
Urutan pemidanaan ditentukan menurut beratnya pidana, dan yang terberatlah yang
lebih di depan (Syaiful Bakhri, 2009 : 3).
Dalam sejarahnya, pidana denda digunakan dalam hukum pidana selama
berabad-abad. Pada Anglo Saxon mula-mula secara sistematis menggunakan hukuman
finansial bagi pelaku kejahatan. Pembayaran uang sebagai ganti kerugian
diberikan kepada korban. Ganti kerugian tersebut menggambarkan keadilan swadaya
yang sudah lama berlaku yang memungkinkan korban untuk menuntut balas secara
langsung terhadap mereka yang telah berbuat salah dan akibat terjadinya
pertumpahan darah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ancaman terhadap
kehidupan dan harta benda suatu kelompok
yang ditimbulkan oleh pembalasan korban adalah faktor penting dalam perkembangan
dan popularitas hukuman dalam bentuk uang. (Syaiful Bakhri, 2009 : 129).
Pidana denda itu sendiri merupakan jenis pidana tertua dan bahkan lebih tua
dari pidana penjara. Pembeyaran denda terkadang dapat berupa ganti kerugian dan
denda adat. Dalam zaman moderen, denda dijatuhkan pada delik ringan atau delik
berat yang dikomulatifkan dengan pidana penjara. Pidana denda pada mulanya
adalah hubungan keperdataan yakni ketika seseorang dirugikan, maka boleh
menuntut penggantian rugi kerusakan yang jumlahnya tergantung pada besarnya
kerugian yang diderita, serta posisi sosialnya yang dirugikan itu. Penguasa pun
selanjutnya menuntut pula sebagian dari pembayaran tambahan untuk ikut campur
tangan pemerintah dalam pengadilan atau atas tindakan pemerintah terhadap yang
membuat gangguan. Pada abad kedua belas, orang yang dirugikan mendapatkan
pembagian hasil ganti kerugian yang menurun, sedangkan penguasa mendapat
pembagian yang semakin baik, akhirnya mengambil seluruh pembayaran ganti rugi
tersebut. Dalam hukum pidana denda dibayarkan kepada negara atau masyarakat,
sedangkan dalam perkara perdata dapat diganti dengan pidana kurungan jika tidak
dibayar. (Syaiful Bakhri, 2009 : 130).
Pidana denda itu sendiri menjadi populer pada zaman kerajaan di abad kedua
puluh dimana raja menerima pembayaran atas kasus-kasus pidana dan para korban
dapat memperoleh kompensasi hanya melalui pengadilan perdata. Semakin
populernya pidana denda juga disebabkan karena hukuman finansial merupakan
sumber yang penting sebagai kekayaan kerajaan. (Barda Nawawi, 2000 : 503)
Pidana denda bagi pelaku tindak pidana korupsi selama ini, jika dikaitkan
dengan asas kemanfaatan hukumnya, tidaklah efektif dan justru mengakibatkan
praktek KKN menjadi tumbuh lebih subur di negeri ini. Dalam rumusan dalam UU
Tipikor, pidana denda minimal lima puluh juta rupiah dan maksimal satu milyar
rupiah. Kondisi ini tentu tidak adil dalam artian negara tetap pada posisi
dirugikan jika nilai korupsi yang dilakukan oleh koruptor itu sendiri diatas
satu milyar. Misalnya saja, seseorang melakukan korupsi yang nilainya Rp.10
milyar, apabila ternyata kasusnya terungkap maka pelaku akan berhadapan dengan
hukum yang melibatkan pengacara, polisi, jaksa dan hakim. Dengan kondisi ini,
maka pelaku tentu akan mengalokasikan hasil korupsinya untuk kepentingan
pembelaannya. Misalnya menyiapkan vee untuk pengacara sebesar 1 Milyar,
kemudian menyuap penyidik dengan alokasi 1 Milyar agar pasal yang digunakan
sedapat mungkin yang meringankan, selanjutnya menyuap jaksa 1 milyar agar
pelaku dituntut serendah-rendahnya dan terakhir menyuap hakim juga senilai 1
Milyar agar dia divonis bebas atau yang paling ringan. Andaikan hakim
menjatuhkan vonis pidana denda maksimal, maka pelaku akan membayar denda
masksimal 1 Milyar rupiah. Jika ditotalkan keseluruhan untuk membiayai perkara
korupsi tersebut, pelaku justru masih diuntungkan paling tidak masih tersisa 5
milyar yang dapat didepositokan di bank selama menjalani hukuman. Dengan
demikian, negara selalu dalam posisi dirugikan akibat korupsi dengan
menggunakan instrumen hukum yang ada saat ini. Menjatuhkan pidana mati
sekalipun, negara tetap dirugikan atau dengan pidana penjara, negara lebih
dirugikan lagi karena harus membebani APBN untuk membiayai segala fasilitas
para koruptor selama dipenjara.
Dengan demikian penulis menilai, negara tidak boleh dalam posisi dirugikan
akibat tindak pidana korupsi. Untuk itu, harus mendorong memaksimalkan peran
pidana denda terhadap pelaku korupsi dengan cara pembaruan hukum dengan
mengganti rumusan pidana denda minimal dan maksimal menjadi rumusan harus
mengembalikan kerugian negara seperti keadaan semula ditambah dengan denda
sebesar nilai uang yang dikorupsi. Sehingga
apabila seorang koruptor melakukan korupsi senilai 10 Milyar, maka dia
harus dituntut mengembalikan kerugian negara tersebut senilai 10 Milyar
ditambah dengan denda sebesar 10 Milyar sehingga total yang harus dibayar
adalah dua kali lipat dari jumlah uang yang dikorupsi.
Jika pelaku tersebut tidak mampu mengembalikan kerugian negara, maka harus
dilakukan penyitaan aset senilai denda yang dijatuhkan. Apabila setelah
penyitaan aset tersebut dilakukan namun belum mencukupi, maka harus dikenakan
pidana kerja sosial. Penerapan pidana denda ini juga merupakan upaya pemiskinan
terhadap pelaku korupsi. Upaya ini jauh lebih efektif dibandingkan dengan
memejarakannya dengan waktu yang singkat, setelah keluar dia bisa kembali
menjadi kepala-kepala daerah atau pejabat negara sehingga dapat mengulangi
perbuatannya. Dengan pidana denda ini, efek jeranya lebih terasa dibandingkan
dengan pidana penjara apalagi dengan penjara saat ini sudah memiliki fasilitas
yang mewah.
Pidana kerja sosial juga bukan merupakan hal baru dalam sistem pemidanaan
di dunia. Tetapi beberapa negara di Eropa sudah melaksanakan termasuk
Belanda, sejak tahun 1987 telah menciptakan
UU mengenai pidana kerja sosial termasuk Jerman dan Austria. (Andi Hamzah, 1991
: 3)
Kesimpulan
Tindak pidana korupsi berkaitan dengan kerugian negara. Dengan demikian
maka yang harus dituntut adalah mengembalikan nilai kerugian negara tersebut,
bukan dengan memenjarakannya yang justru menambah kerugian negara. Untuk itu,
pidana denda dan/atau pidana kerja sosial harus dikedepankan dalam rangka
memerangi pelaku korupsi dan prilaku koruptif. Semoga kedepan hukum dapat lebih
tegak lagi tanpa pandang bulu sehingga hukum kembali ke tahtanya sebagai
PANGLIMA. Semoga...!!!
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad. 2002. Menguak
Tabir Hukum (Suatu kajian Filosofis dan Sosiologis) (PT. Gunung Agung, Tbk,
Jakarta).
Askin, Moh. 2003. Good Enviromental Govermance dalam perspektif Islam.
Budiman, Arif. 2000. Harapan dan Kecemasan, menatap arah Indonesia reformasi, Bigraf
Publishing, Yogyakarta.
Rustan, Ahmad. 2009. Pembentukan KPK, Sebuah Upaya Untuk Memberantas Korupsi. Kendari.
Hamzah, Andi. 1991. Catatan Tentang Perbandingan Hukum Pidana. Sianar Grafika, Jakarta.
Posting Komentar