 Partisipasi Masyarakat Dalam Penyusunan APBD di desa Puwulo Kec. Laeya Kabupaten Konawe Selatan

|| || || Leave a komentar

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENYUSUNAN APBD
DI DESA PUWULO KEC. LAEYA KAB. KONAWE SELATAN


Oleh :
 Ahmad Rustan,  Nur Nashriani Djufri,  dan Dirawati
Diterbitkan melalui Jurnal Hukum LEGITIME Volume III.  No. 1, Edisi Maret 2013

 

 Abstrak

Peran serta masyarakat dalam penyusunan peraturan perundang-undangan khususnya Perda APBD merupakan hak masyarakat baik pada tingkat penyiapan maupun pada tahap pembahasan. Dalam konteks hak asasi manusia, setiap hak melahirkan kewajiban pada pemerintah, sehingga haruslah jelas pengaturan mengenai kewajiban pemerintah dalam memfasilitasi terpenuhinya hak-hak masyarakat. Partisipasi masyarakat itu menjadi penting karena pengalaman selama ini membuktikan bahwa rangkaian hajatan APBD hanyalah merupakan seremonial belaka, sehingga keterlibatan masyarakat dalam penyusunan APBD diharapakan dapat mengakomodir kepentingan masyarakat sehingga dapat melahirkan APBD yang pro rakyat.

Kata Kunci : Partisipasi, Masyarakat, Perda APBD


BAB 1 PENDAHULUAN

Otonomi daerah secara resmi telah dimulai sejak tahun 2000 dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini kemudian tidak berlaku setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan terakhir mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Otoda telah memasuki usia 12 tahun dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Maksud utama otonomi  daerah adalah diharapkan daerah menjadi lebih mandiri  dalam mengurus urusan pemerintahnnya yang pada gilirannya akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Distribusi pendapatan akan lebih merata dan tidak terkonsentrasi di segelintir  tempat saja.
Salah satu aspek yang paling penting dalam otoda adalah otonomi pengelolaan keuangan daerah  yang biasa kita kenal dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Seberapa jauh arti penting anggaran dalam mencapai tujuan otonomi? Sejauh mana APBD dapat mendongkrak kesejahteraan masyarakatnya? Ini semua amat penting untuk diketahui oleh semua pihak, para pemangku kepentingan (stakeholder). Dengan demikian diharapkan APBD akan lebih tepat sasaran, transparan dan akuntabel. Inilah yang diharapkan dari setiap isu yang mengatasnamakan reformasi dalam bidang apapun di negeri ini : good government and governance.
Awalnya fungsi anggaran publik adalah pedoman bagi pemerintah dalam mengelola negara atau daerah otonom untuk satu periode di masa yang akan datang, namun karena sebelum anggaran publik dijalankan harus mendapatkan persetujuan dari lembaga perwakilan rakyat maka anggaran publik berfungsi sebagai alat pengawasan masyarakat terhadap kebijakan publik yang dipilih oleh pemerintah. Selain itu karena pada akhirnya setiap anggaran publik harus dipertanggunjawabkan pelaksanaannya oleh pemerintah kepada lembaga perwakilan rakyat, berarti anggaran negara juga berfungsi sebagai alat pengawas bagi masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan yang telah dipilihnya.
Fungsi anggaran publik pada uraian sebelumnya, maka anggaran publik harus dilihat sebagai power relation antara eksekutif, legislatif dan rakyat sendiri. Bagi rakyat yang harus dilakukan adalah memantau arah dari prioritas kebijakan yang dibuat pemerintah satu tahun mendatang yang akan dinyatakan dalam bentuk nominal dalam anggaran. Tujuan pemantauan prioritas adalah memantau apakah prioritas kebijakan efektif untuk kepentingan rakyat banyak atau tidak. Bagi Indonesia dan bagi daerah-daerah kabupaten atau kota dan propinsi di Indonesia prioritas anggaran publiknya hingga 70-80%-nya digunakan untuk membiayai gaji dan fasilitas birokrasinya sedangkan yang kembali kepada rakyat dalam bentuk anggaran pembangunan baru 30-20% saja. Selain itu mengingat anggaran publik adalah pernyataan sebuah power relation antara kekuatan-kekuatan politik maka ada kemungkinan terjadi politik uang dalam penyusunan anggaran. Oleh karena itu sangat strategis peran pemantauan anggaran yang dilakukan oleh elemen-elemen masyarakat sipil yang ada. 
Penyusunan anggaran (APBD) di era otoda menjadi urusan strategis bagi daerah. Pada masa orde baru otoritas ini dipegang secara sentralistis pada eksekutif yaitu pemerintah pusat. Sedangkan pemerintah daerah bersama DPRD hanya bertugas mengalokasikan sebagian kecil dari APBD, sekitar 10% bagi daerah miskin dan sekitar 20% bagi daerah kaya, yaitu porsi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sekarang ini wewenang untuk menentukan prioritas kebijakannya yang ditunjukan dalam APBD sepenuhnya menjadi otoritas daerah. 
Berdasarkan perubahan tersebut, maka memantau anggaran adalah strategis paling tidak untuk dua hal pertama memantau efektifitas prioritas kebijakan yang dipilih oleh pemerintah. Tentu saja kebijakan akan semakin efektif jika semakin sesuai dengan kebutuhan rakyat. Kedua, memantau penyimpangan yang mungkin terjadi dalam setiap tahap penganggaran dalam siklus anggaran.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dimanapun memiliki kesulitan untuk melakukan asessment prioritas kebutuhan rakyat yang harus didahulukan dalam APBD. Sementara itu, pemerintah daerah selaku eksekutif memiliki kemampuan dan jajaran birokrasi untuk melakukan penyusunan anggaran daerah. Mekanisme yang selama ini dilakukan oleh eksekutif adalah melalui Rakorbang (rapat koordinasi pembangunan) dari tingkat propinsi hingga ke desa. Mekanisme ini masih jauh dari konsep partisipasi publik dan apalagi transparansi serta akuntabilitas.
Kondisi yang berubah tersebut memicu beberapa kecenderungan pertama, adanya jargon dari pemerintah-pemerintah daerah yang begitu kuat untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dalam rangka otonomi daerah. Selain itu melihat kondisi masyarakat yang sedang kesulitan karena subsidi-subsidi dihapus maka akan lebih baik bila ekstensifikasi pajak dilupakan terlebih dahulu. Kecenderungan kedua adalah, otoritas yang sangat besar bagi DPRD untuk menyusun APBD dan menyusun anggaran untuk dirinya sendiri, namun tidak ada pengawasan yang sistematis dari manapun kecuali rakyat berkesadaran untuk melakukannya. Dengan demikian kembali pada kenyataan bahwa anggaran adalah power relation maka kemungkinan terjadinya suap (bribery) terhadap DPRD untuk menyetujui pos anggaran tertentu yang tidak dibutuhkan rakyat sangat mungkin terjadi. 
Dengan melihat perubahan diatas maka memantau anggaran adalah strategis paling tidak untuk dua hal pertama memantau efektifitas prioritas kebijakan yang dipilih oleh pemerintah. Tentu saja kebijakan akan semakin efektif jika semakin sesuai dengan kebutuhan rakyat. Kedua, memantau penyimpangan yang mungkin terjadi dalam setiap tahap penganggaran dalam siklus anggaran. Dengan demikian, untuk mewujudkan APBD tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, maka partisipasi masyarakat menjadi sangat penting[1].
Partisipasi masyarakat itu menjadi perlu dan penting karena pengalaman selama ini membuktikan bahwa rangkaian hajatan APBD hanyalah merupakan dunia seremonial belaka. Perencanaan yang pas-pasan, pembahasan seadanya, pelaksanaan yang ala kadarnya, pertanggung jawaban seadanya dan pengawasan tutup mata dan semuanya serba pas-pasan. Masyarakat khususnya di pedesaan sangat penting melibatkan diri dalam perencanaan, pembahasan, pelaksanaan sampai pada tahap pengawasan terhadap APBD. Partisipasi masyarakat ini diharapkan dapat mengakomodir aspirasi masyarakat untuk tujuan pembangunan di masing-masing desa agar dapat dianggarkan dalam APBD.
Berdasarkan observasi awal peneliti di 10 desa di Kabupaten Konawe Selatan pada bulan Februari 2012, sebagian besar masyarakat tidak pernah terlibat dalam penyusunan APBD dan bahkan tidak mengetahui bagaimana masyarakat berpartisipasi dan dimana ruang masyarakat untuk dapat menyampaikan aspirasinya. Beberapa diantara masyarakat sudah tahu ruang partisipasi untuk mengusulkan program pembangunan melalui musrembang. Akan tetapi, semua usulan masyarakat tidak pernah terealisasi. Realitas ini merupakan salah satu indicator bahwa APBD disusun berdasarkan perspektif pemerintah sehingga besar kemungkinan APBD tersebut tidak tepat sasaran. Sehingga fakta sangat penting untuk dilakukan penelitian lebih lanjut dalam rangka mewujudkan peran dan partisipasi masyarakat dalam penyususnan APBD.
Lemahnya partisipasi masyarakat dalam penyusunan APBD, dapat menghambat pembangunan di desa sehingga masyarakat sudah selayaknya diberikan ruang untuk berpartisipasi di semua tahapan dalam pengambilan kebijakan khususnya dalam penyusunan APBD. Inilah yang mendasari penelitian ini dalam rangka untuk mengetahui peran dan partisipasi masyarakat dalam penyusunan APBD, dengan judul “Partisipasi Masyarakat dalam Penyususnan APBD”.

BAB 2. RUMUSAN MASALAH
 Adapun Rumusan Masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimanakah partisipasi masyarakat dalam penyusunan APBD di Desa Puwuulo Kec. Laeya Kab. Konsel?

BAB 3. TINJAUAN PUSTAKA
A.    Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Secara filosofis, anggaran pemerintah adalah dokumen kesepatan antara eksekutif dengan legislatif dalam bidang keuangan yang berisi rencana penerimaan dan penggunaannnya dalam satu tahun anggaran. Satu tahun anggaran meliputi periode satu tahun kalender yang dimulai dari tanggal 1 januari sampai dengan 31 Desember. Jadi kalau dikatakan tahun anggaran 2011 misalnya, berarti tahun anggran dimulai pada tangggal 1 Januari 2011 sampai dengan tanggal 31 Desember 2011 mendatang.
B.     Siklus Anggaran.
Siklus anggaran meliputi enam tahap sebagai berikut [2]:
1.      Usulan anggran dari SKPD.
2.      Pembahasan anggaran ditingkat panitia anggaran eksekutif.
3.      Pembahasan anggaran dengan legislatif.
4.      Pengesahan anggaran.
5.      Pelaksanaan anggran.
6.      Pertanggung jawaban anggran.
Pembanguann suatu daerah mesti direncanakan dengan baik. Untuk itulah pemerintah mesti membuat perencanaan pembangunan di daerahnya baik jangka pendek, jangka menengah  maupun jangka panjang. Perencanaan jangka pendek dikenal dengan sebutan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), rencana pembangunan jangka menengah dikenal dengan sebutan Rencana Pembanunan Jangka Menegah Daerah (RPJMD), rencana pembangunan jangka panjang disebut dengan Rencana Pembangunan Jangak Panjang Daerah (RPJPD). RPJPD diterjemahkan dalam RPJMD, dan RPJMD dijabarkan setiap tahunnya melalui RKPD. Selanjutnya RKPD dijabarkan secara detail dalam RAPBD untuk ditetapkan bersama DPRD menjadi APBD.
Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah disusun berdasarkan usulan anggaran dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (Dinas Kantor dan Badan). Dalam penyususnan anggaran setiap SKPD mesti memperhatikan masukan masyarakat melalui mekanisme Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrembang). Dalam forum musrembang inilah masyarakat diberikan seluas-luasnya kesempatan untuk memberikan usulan kegiatan sesuai dengan kenbutuhan dan prioritas wilayahnya masing-masing.
 Berdasarkan usulan dari seluruh unit kerja (SKPD), maka panitia anggaran eksekutif yang dikoordinir oleh Sekretaris Daerah menyususn RAPBD, memverifikasi ususlan SKPD sesuai skala prioritas daerah, serta kesesuaian dan konsistensi dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Selanjutnya RAPBD diserahkan kepada DPRD untuk dibahas sesuai dengan mekanisme/tata tertib DPRD. Dalam melakukan kajian atas usulan anggaran  pemerintah melalui RAPBD tersebut, DPRD harus melakukan penjaringan aspirasi masyarakat untuk mengetahui kebutuhan mendesak dan prioritas di wilayah tersebut. Media menjaring aspirasi inilah yang kita kenal dengan sebutan “constituent meetin” (temu konstituen). Pada umumnya forum penjaringan aspirasi model ini lebih efektif dibanding mekanisme musrembang. Hal tersebut disebabkan karena alasan sebagai berikut:
1.      Periode waktu yang lebih pendek. Hasil temu konstituen langsung dapat diakomodir dalam penganggaran saat itu. Hal ini berbeda dengan pola musrembang dimana hasil musrembang tersebut baru akan diususlkan untuk tahun anggaran mendatang.
2.      Short Cut. Artinya tidak melalui tahapan yang berbelit-belit. Usulan dari temu konstituen dibawa dan diperjuangakan secara langsung oleh anggota DPRD. Hal ini berbeda dengan musrembang yang harus melalui beberapa tahapan. Yakni musrembang Desa/Kelurahan dimana hasilnya akan dilanjutkan ke musrembang tingkat kecamatan, selanjutnya diteruskan pada musrembang tingkat kabupaten. Dalam setiap tahapan ini, memungkinkan hasil musrembang tingkat kecamatan tidak lagi mengakomodir hasil musrembang pada tingkat Desa/Kelurahan. Demikian pula sebaliknya, hasil musrembang pada tingkat kecamatan belum tentu dapat terjaring pada musrembang pada tingkat kabupaten/kota, dalam artian bahwa hasil musrembang tingkat bawah memiliki potensi besar untuk dapat dibatalkan pada musrembang yang lebih tinggi.
Setelah melalui pembahasan dan persetujuan di DPRD, maka RAPBD disahkan menjadi APBD dalam bentuk Peraturan Daerah tentang APBD. Perda APBD merupakan bentuk otorisasi parlementer yang memberikan otorisasi kepada pemerintah daerah untuk melakukan penerimaan dan membuat pengeluaran hanya sebesar plafon anggran yang tercantum dalam APBD. Oleh karena itu, dalam konteks ini maka pemerintah daerah tidak diperkenangkan melakukan pengeluaran atau melakukan pungutan dari masyarakat selain yang tercantum dalam APBD. Pelanggaran terhadap perda APBD ini dianggap pemerintah tidak amanah dan tidak layak menduduki kursi pemerintahan.
Penyusunan Peraturan Daerah tentang APBD, legislatif memiliki peranan yang sangat strategis dalam rangka mewujudkan APBD yang berpihak pada rakyat. Berdasarkan Pasal 20 UUD NRI tahun 1945, fungsi lembaga perwakilan atau parlemen dibagi menjadi tiga fungsi yakni, fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan[3]. Dengan demikian legislatif memiliki peranan penting untuk dapat melahirkan APBD yang berpihak pada rakyat khususnya bagimana mengakomodir aspirasi dari masing-masing konstituen para wakil rakyat.
Peraturan Daerah APBD selanjutnya menjadi dasar bagi pemerintah untuk membuat pengeluaran maupun melakukan pungutan guna membiayai pengeluaran sebatas yang tersebut dalam APBD. Tata cara pemungutan dan pengeluaran atas beban APBD diatur sesuai mekanisme yang berlaku. Berdasarkan Perda APBD inilah selanjutnya setiap SKPD membuat rencana pelaksanaan kegiatan, apakah akan dikerjakan sendiri (swakelola) atau melalui jasa pihak ketiga (lelang umum).
Setiap tahun anggran, pemerintah wajib mempertanggung jawabkan pelaksanaan APBD  kepada rakyat selaku pemberi mandat melalui DPRD. Disinilah mestinya para anggota DPRD bisa lebih kritis dalam mengevaluasi pelaksanaan APBD oleh eksekutif disetiap akhir tahunnya. Apakah program dan kegiatan telah dilaksanakan dengan benar, telah memberikan manfaat bagi masyarakat dan seterusnya. Evaluasi ini juga penting sebagai umpang balik bagi penganggaran selanjutnya.
Tujuan Perda APBD partisipatif adalah : Pertama, meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengelolaan pembangunan. Kedua, meningkatkan kulaitas pengelolaan pembangunan berbasis masyarakat. Ketiga, menghasilkan agenda pembangunan yang disusun dari, oleh dan untuk masyarakat. Keempat, menghasilkan program atau kegiatan pembangunan yang tepat sasaran, tepat kebutuhan dan tepat alokasi. Kelima, menumbuhkan respon masyarakat dalam rangka mewujudkan kepemerintahan yang baik[4].
Selain kelima tujuan perda APBD partisipatif tersebut, muara dari penyusunan APBD diharapkan dapat mewujudkan tercapainya efesiensi anggaran. APBD dapat tepat sasaran dan tepat alokasi jika dilakukan efesiensi anggaran. Tidak tercapainya suatu efesiensi[5] dapat terjadi karena telah menguatnya budaya korupsi dalam pengelolaan proyek-proyek pemerintahan terutama berkaitan dengan pembangunan infrastruktur.
Dalam konteks reformasi pemerintahan yang berlangsung dewasa ini, menuntut adanya penyelenggaraan pemerintahan yang baik (Good Governence). Menurut Said Sampara[6] bahwa pemerintahan yang baik menghendaki adanya akuntabilitas, transparansi, keterbukaan dan rule of law. Sementara pemerintahan yang bersih menuntut terbebasnya praktek yang menyimpang khususnya Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN).
Terjadinya praktek Korupsi di Indonesia menurut Arifai[7], disebakna karena buruknya kinerjabirokrasi di Indonesia. Birokrasi yang berbelit-belit dan panjang dapat menimbulkan praktek KKN dan ini terjadi dihampir semua lembaga dan semua aspek.
C.    Konsep Demokrasi.
            Istilah demokrasi berasal dari Yunani yang terdiri dari dua perkataan yaitu, demos yang berarti rakyat dan cratein yang berarti memerintah. Dengan demikian secara terminologi berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.[8]
            Sejalan dengan itu, Hans Kelsen menjelaskan :”that all power should be exercised by one collegiate organ the member of which are elected by the people and which should be legally responsible to the people”. (bahwa semua kekuasaan harus dilaksanakan oleh suatu organ kolega yang para anggotanya dipilih oleh rakyat dan secara hukum harus bertanggung jawab kepada rakyat)[9].
Begitu pula dengan Deliar Noer memberikan defenisi demokrasi bahwa:
Negara demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat atau jika ditinjau dari sudut organisasi berarti suatu pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atas asas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada ditangan rakyat.[10]
Berdasarkan pendapat para ahli hukum tersebut mengenai pengertian demokrasi, dapat disimpulkan bahwa hak partisipasi publik dalam menentukan kebijakan publik adalah implementasi dari asas  demokrasi
Esensi demokrasi adalah partisipasi politik. Nie dan King, mendefenisikan partisipasi politik, “By political participation, we refer to those legal activities bay private citizens that are more or less directly aimed at influencing the selection of govern-mental personnel and/or the actions they take”.[11]
Menurut Ramlan Surbakti bahwa tinggi rendahnya partisipasi politik ditentukan oleh kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintahan (sistem politik).[12] Yang dimaksud dengan kesadaran adalah kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara, yang berhubungan dengan pengetahuan seseorang tentang lingkungan masyarakat dan politik, dan menyangkut minat dan perhatian terhadap lingkungan masyarakat dan politik. Sedangkan yang dimaksud dengan sikap dan kepercayaan kepada pemerintahan adalah penilaian seseorang terhadap pemerintahan, apakah pemerintahan dapat dipercaya atau dapat dipengaruhi atau sebaliknya?[13] Penentuan pejabat politik merupakan bagian dari partisipasi politik. Pemilihan pejabat politik secara langsung lebih demokratis dibandingkan melalui mekanisme perwakilan.
Amin Rais memaparkan ada sepuluh kriteria demokrasi yaitu[14] :
1.      Partisipasi dalam pembuatan keputusan;
2.      Persamaan di depan hukum;
3.      Distribusi pendapatan secara adil;
4.      Kesempatan pendidikan yang sama;
5.      Empat macam kebebasan yaitu : kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berkumpul dan kebebasan beragama;
6.      Ketersediaan dan keterbukaan informasi;
7.      Mengindahkan tata krama politik;
8.      Kebebasan individu;
9.      Semangat kerjasama; dan
10.     Hak untuk protes.

D.    Partisipasi
Salah satu teori  sebagai alat analisis adalah teori tangga partisipasi oleh Sherry R. Arstein (Ahmad Ruslan) . Partisipasi adalah kata yang tidak jelas, memiliki arti beragam bagi setiap orang ( Arnstein, 1969). Dalam Teori tangga partisipasi ini menyediakan parameter sampai sejauh mana sebuah partisipasi dalam mengambil keputusan publik.  Model Arnstein disusun berdasarkan “ corresponding to the extent of citizen’s power in determining the plan and/or program.” ( Arstein, 1969:216-224). Dalam model ini ada tiga derajat partisipasi masyarakat ; (1).Tidak partisipatif (nonparticipation); (2) derajat semu ( degrees of tokenism) dan (3) kekuatan masyarakat ( degrees of citizen power ).[15]
Untuk lebih lanjut dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal istilah good governance yang merupakan prasyarat untuk pembentukan legislasi.
Pasal 53 UU No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bila ditafsirkan secara hukum metode untuk mewujudkan hak partisipasi masyarakat tersebut bisa dilaksanakan secara lisan dan tertulis dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.[16] Dalam hal ini menurut penjelasan dari kamus Bahasa Indonesia  :
“Lisan berarti kata-kata yang diucapkan atau berkenaan dengan kata-kata yang diucapkan. Artinya secara langsung warga masyarakat dapat menyampaikan pendapat, aspirasi, keluhan atau keberatan, melalui tatap muka secara langsung dengan sejumlah pihak yang memiliki kewenangan hukum menerima dan menampung partisipasi masyarakat. Tertulis, partisipasi ,masyarakat dilakukan dengan cara menuangkan tulisan, baik berupa tulisan tangan maupun diketik, kemudian disampaikan kepada lembaga tertentu sesuai dengan mekanisme yang ditentukan”[17].
Ditinjau dari tahapan keterlibatannya, secara hukum masyarakat hanya diberikan hak untuk berpartisipasii disaat penyiapan dan pembahasan. Makna penyiapan dalam konteks keterlibatan publik bisa berupa :
1.  Mengusulkan atau memberikan masukan topik, atau masalah terkait untuk diatur dalam legislasi.
2.  Menyiapkan draft rancangan usulan legislasi

Sedangkan dalam proses pembahasan, keterlibatan publik bisa berupa :
1.  Mendengarkan proses-proses diskusi/persidangan dalam proses pembahasan di DPR/DPRD.
2.  Diundang untuk memberikan masukan terhadap draft yang sedang dibahas.
3.  Mengusulkan secara langsung sebelum maupun ditengah persidangan pembahasan
4.  Dengar pendapat

Sebagaimana dirumuskan dalam pasal 53 UU No 10 tahun 2004, masyarakat memiliki hak berpartisipasi secara lisan dan  tertulis dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan undang-undang atau rancangan peraturan daerah. Dalam penjelasan pasal 53 UU No.10 tahun 2004 ini, memiliki rumusan bahwa Hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
            Hal ini berarti secara hukum ada pembatasan terkait dengan mekanisme hukum partisipasi yang ditentukan oleh dua produk hukum sesuai dengan tingkatannya, yakni :
1.  Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat (Tatib DPR), untuk berpartisipasi dalam penyiapan dan pembahasan undang-undang;
2.  Peraturan Tata Tertib  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Tatib DPRD), untuk berpartisipasi dalam penyiapan dan pembahasan peraturan daerah.

Dengan demikian peran serta masyarakat dalam penyusunan peraturan perundang-undangan khususnya Perda APBD merupakan hak masyarakat baik pada tingkat penyiapan maupun pada tahap pembahasan. Dalam konteks hak asasi manusia, setiap hak melahirkan kewajiban pada pemerintah, sehingga haruslah jelas pengaturan mengenai kewajiban pemerintah dalam memfasilitasi terpenuhinya hak-hak masyarakat.
Pasal 5 dan 6 UU No.10 Tahun 2004, dikemukakan adanya asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, dalam pasal 5, ada salah satu asas yang menyinggung secara langsung kaitannya dengan partisipasi public yakni asas keterbukaan. Yang dimaksuud asas “keterbukaan” adalah bahwa dalam proses pembentukan perturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa dalam asas keterbukaan tersebut ada 4 (empat) level keterlibatan publik  yakni : Perencanaan, Persiapan, Penyusunan, dan Pembahasan.
Bentuk kongkrit partisipasi publik yang dimaksud adalah :
1.      Akses untuk memperoleh informasi, atas dasar partisipasi penegasan   transparansi atau keterbukaan disetiap levelnya.
2.      Kesempatan seluas-luasnya memberikan masukan dalam proses  pembuatan peraturan perundang-undangan.
Dalam banyak kasus, memang pendekatan partisipatif menjadi bagian dari alat kooptasi baru bagi rezim yang berkuasa dan bukan sebagai alat pembebasan sehingga sesungguhnya wajah penindasan dari pembangunan sebenarnya tetap ada, hanya terbungkus oleh jargon partisipasi.( Rahnema, 1995). Oleh karena itu pendekatan partisipatif haruslah berubah pemaknaannya dari sekadar kata keadaan (keterlibatan rakyat dalam proses pembangunan, termasuk pembentukan peraturan perundang-undangan) menjadi kata kerja (pendekatan untuk menempatkan posisi masyarakat secara politik sebagai pelaku pembangunan), secara filosofi, pendekatan partisipatoris berbasis pada prinsip “proses belajar berdasarkan pengalaman untuk capability building dan institutional strengthening”, sehingga masyarakat tampil sebagai pelaku pembangunan yang mandiri (Ohama, 2001). Sehingga diharapkan setiap kebijakan yang dikeluarkan penyelenggara negara akan jauh lebih efektif dan ada perasaan untuk memiliki akan kebijakan tersebut ( sense of belonging ), karena masyarakat lebih berdaya.
Dengan adanya konsep dasar partisipasi yang demikian, maka tindakan kunci untuk perubahan menyeluruh kebijakan ditingkat harus didorong melalui :
1.      Rekonstruksi kelembagaan negara yang lebih memberikan jaminan  partisipasi politik kewargaan.
2.      Pergeseran konsep top-down menjadi proses bottom-up, sehingga posisi dan suara masyarakat senantiasa  diutamakan dalam kebijakan apapun.
3.      Adanya peningkatan kemampuan masyarakat (capacity building) dan penguatan kelembagaan masyarakat setempat (local institutional strengthening), dengan cara melibaatkan diri dalam setiap kebijakan. Oleh karena itu prasyarat pengorganisasian masyarakat menjadi penting untuk proses trannsformasi kemampuan publik menjalankan control terhadap kekuasaan politik.
Berdasarkan pada hal tersebut, maka perlu pemikiran untuk mengembangkan metode partisipasi publik berbasis konteks hukum dan politik lokal yang sebenarnya banyak memberikan pelajaran berharga untuk mendorong transformasi demokratisasi ditingkat bawah.
Setumpuk regulasi yang mengatur tentang hak partisipasi masyarakat tidak akan terimplementasi dengan baik jika keinginan untuk menciptakan good governance tidak dijadikan sebagai prinsip dasar dalam pengelolaan tata pemerintahan yang baik. Indikator untuk mengukur sebuah kebijakan berpihak pada rakyat sangatlah sederhana. Menurut Aswanto[18], sebuah kebijakan yang memenuhi unsur partisipasi masyarakat dalam penyusunannya tidak akan menuai protes atau perlawanan dari masyarakat, karena masyarakat turut terlibat didalamnya sehingga kepentingan masyarakat terakomodir didalamnya.
BAB 4. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran dan partisipasi masayarakat dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
BAB 5. METODE PENELITIAN
a. Pendekatan dan Definisi Operasional
Permasalahan penelitian diurai dengan menggunakan pendekatan prosesual. Penekanan pada pendekatan prosesual dimaksudkan agar peneliti dan proses penelitian tidak terjebak dalam suatu kerangka teoritik yang kaku dan bersifat stereotypic. Dengan pendekatan proses maka penelusuran data dan informasi secara diacronik dilakukan untuk menggali data dan memahami secara runtun dan lengkap proses atau mekanisme sosial yang mengiringi tumbuh dan bertahannya (persistensi) budaya partisipasi, juga yang melatari terhambatnya partisipasi masyarakat dalam penyusunan APBD khususnya di Kabupaten Konawe Selatan.
Istilah resistensi disini difahami sebagai suatu keadaan penolakan atau tidak dapat tumbuh dan berkembangnya budaya partisipasi yang diharapkan. Persistensi difahami sebagai keadaan bertahan atau dapat tumbuh dan berkembangnya budaya partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan daerah khususnya APBD di Kabupaten Konawe Selatan.
b.  Sumber Pengumpulan Data dan Analisis Data
Data dan informasi yang diperlukan untuk menjelaskan permasalahan penelitian dikumpulkan dari dua sumber yaitu sumber-sumber primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dan penyebaran kuisioner sebanyak 100 responden. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari hasil olahan data berupa dokumen tertulis, laporan, publikasi, dan sebagainya.
Wawancara mendalam akan dilakukan dengan sejumlah informan di seluruh komunitas sasaran yang menjadi lokasi penelitian maupun informan-informan lain yang dianggap relevan bagi kepentingan penelitian ini.  Informan yang secara intensif diwawancarai adalah penduduk atau tokoh-tokoh masyarakat,  perangkat desa. Pengamatan tentang proses partisipasi masyarakat dalam penyusunan APBD.
Analisisi data dilakukan secara simultan bersamaan dengan proses pengumpulan data (ongoing analysis), dengan menggunakan teknik analisis data yang lazim berlaku dalam penelitian kualitatif. Proses analisa data dalam penelitian kualitatif mencakup pengujian (examining), pemilihan kategorisasi, evaluasi, membandingkan, melakukan sintesa, dan merenungkan kembali data (contemplainning decoded data) yang dilakukan secara sublikal untuk membangun inferensi-inferensi, menguji kembali inferensi dan kemudian menarik kesimpulan. (lihat W. Lawrence Neuman, 1997: 427). Dalam istilah Neuman (1997) metode analisa yang berlangsung secara siblikal yang memberi peluang terus menerus melakukan pengujian konsep dengan data-data dan bukti secara berulang-ulang untuk menemukan  inferensi dan teori baru disebut metode successive approsimation. Selain itu, karena proses pengumpulan data dilakukan dengan menggunalkan beberapa konsep yang ada sebelumnya tentang partisipasi, maka proses analisis data dilakukan juga  dengan metode ilustratif (illustrative method) dalam pengertian yang longgar.
c.  Penentuan Daerah Penelitian  
Penelitian ini akan dilakukan di Desa Puwuulo Kec. Laeya Kabupaten Konawe Selatan sebagai wakil dari Propinsi Sulawesi Tenggara. 

BAB 9. HASIL PENELITIAN

Gambaran umum lokasi penelitian.
Desa Puwuulo merupakan Desa pemekaran dari Desa Labokeo pada tahun 2005. Sebelumnya desa ini diberi nama Desa Landetallo, akan tetapi pada saat pembahasan di DPRD Konsel, para anggota Dewan sepakat mengganti nama dari Desa Landetalo menjadi Desa Puwuulo dengan pertimbangan bahwa, Puwuulo sudah dikenal namanya sejak dahulu. Secara geografis Desa Puwuulo berbatasan dengan beberapa desa yakni di sebelah utara berbatasan dengan Desa Anggoroboti, sebelah Barat berbatasan denga Desa Wawowonua, sebelah timur berbatasan dengan Kali Puwuulo dan sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Labokeo. Sejak tahun 2005, Desa Puwuulo dijabat oleh seorang pelaksana Desa selama kurang lebih 5 tahun lamanya yakni Tamrin, S.Ag yang juga sebagai salah seorang pegawai pada kantor Kecamatan Laeya. Luas wilayah Desa puwuulo ±1555km².
Pada tanggal 10 Oktober 2010, Desa Puwuulo resmi di defenitifkan dan Pada tanggal 29 Februari 2012, barulah diadakan pemilihan kepala desa secara langsung yang pada akhirnya terpilih bapak Juswan sebagai Kepala Desa Puwuulo defenitif pertama. Desa Puwuulo terdiri dari 4 Dusun yang dihuni sekitar 300 Kepala Keluarga yang terdiri dari 3 etnis yang mayoritas yakni suku Tolaki yang juga sebagai penduduk asli, suku bugis dan suku makassar. Mayoritas masyarakat di Desa Puwuulo merupakan petani kebun maupun tambak. Masyarakat Tolaki umumnya sebagai petani kebun yang menghasilkan berbagai jenis hasil kebun, seperti cokelat, sayur-mayur, dan sebagainya. Sementara suku bugis Makassar selain berkebun juga sebagian besar memiliki tambak udang dan ikan.
Dari segi infra struktur, di Desa Puwuulo ini terdapat 2 mesjid yakni 1 mesjid induk yang sementara proses pembangunan dan 1 lainnya merupakan masjid dusun yang juga masih dalam tahap pembangunan. Sementara sarana perkantoran juga masih dalam tahap pembangunan yang semuanya merupakan swadaya masyarakat. Di Desa ini juga terdapat satu sekolah tingkat SD. Sementara jalan masih pengerasan yang sebelumnya dibangun melalui program PNPM mandiri.
a.      Partisipasi masyarakat dalam penyusunan APBD.
Anggaran baik anggaran perusahaan, anggaran negara, anggaran daerah atau anggaran lembaga-lembaga lainnya dapat diartikan sebagai rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijaksanaan untuk suatu periode masa yang akan datang. Anggaran bagi sektor publik meliputi anggaran bagi sebuah negara, suatu daerah otonom atau badan usaha milik negera atau akan lebih mudah disebut dengan anggaran publik. Makna anggaran publik adalah suatu kebijakan publik tentang perkiraan pengeluaran dan penerimaan yang diharapkan akan terjadi dalam suatu periode di masa depan serta data dari pengeluaran dan penerimaan yang sungguh-sungguh terjadi di masa yang lalu.
Pada mulanya fungsi anggaran publik adalah pedoman bagi pemerintah dalam mengelola negara atau daerah otonom untuk satu periode di masa yang akan datang, namun karena sebelum anggaran publik dijalankan harus mendapatkan persetujuan dari lembaga perwakilan rakyat maka anggaran publik berfungsi sebagai alat pengawasan masyarakat terhadap kebijakan publik yang dipilih oleh pemerintah. Selain itu karena pada akhirnya setiap anggaran publik harus dipertanggunjawabkan pelaksanaannya oleh pemerintah kepada lembaga perwakilan rakyat, berarti anggaran negara juga berfungsi sebagai alat pengawas bagi masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan yang telah dipilihnya.
Dengan melihat fungsi anggaran publik diatas maka anggaran publik harus dilihat sebagai power relation antara eksekutif, legislatif dan rakyat sendiri. Bagi rakyat yang harus dilakukan adalah memantau arah dari prioritas kebijakan yang dibuat pemerintah satu tahun mendatang yang akan dinyatakan dalam bentuk nominal dalam anggaran. Tujuan pemantauan prioritas adalah memantau apakah prioritas kebijakan efektif untuk kepentingan rakyat banyak atau tidak.
Kondisi yang berubah di era otonomi daerah ini penyusunan anggaran (APBD) menjadi urusan strategis bagi daerah. Pada masa orde baru otoritas ini dipegang secara sentralistis pada eksekutif yaitu pemerintah pusat. Sedangkan pemerintah daerah bersama DPRD hanya bertugas mengalokasikan sebagian kecil dari APBD, sekitar 10% bagi daerah miskin dan sekitar 20% bagi daerah kaya, yaitu porsi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sekarang ini wewenang untuk menentukan prioritas kebijakannya yang ditunjukan dalam APBD sepenuhnya menjadi otoritas daerah. 
Bila pada masa orde baru otoritas penyusunan APBD lebih besar ditangan eksekutif, maka di era otonomi daerah ini otoritas penyusunan APBD sepenuhnya ditangan DPRD. Perubahan kondisi ini menimbulkan banyak masalah partisipasi rakyat dalam penyususnannya. Tahapan penyusunan anggaran adalah tahap penyusunan yang dilakukan oleh eksekutif untuk anggaran pemerintah daerah dan oleh legislatif untuk anggaran DPRD. Penyusunan ini memerlukan waktu 6 bulan. Setelah disusun, RAPBD pemerintah daerah disampaikan oleh kepala daerah kepada DPRD untuk selanjutnya dibahas dan disahkan. Periode pembahasan dan pengesahan ini memerlukan waktu hingga 3 bulan selanjutnya setelah disahkan menjadi Peraturan daerah baru APBD resmi berlaku hingga satu tahun mendatang untuk dipertanggungjawabkan kepada DPRD.
Melalui APBD, pembiayaan penyelenggaraan otonomi daerah dapat dilakukan. APBD itu sendiri bersumber dari rakyat melaui berbagai jenis penerimaan daerah baik melaui pajak, retribusi, dana transfer, bagi hasil dan sebagainya. Oleh karena APBD bersumber dari rakyat, sehingga penting bagaimana keterlibatan rakyat dalam penyusunannya? Keterlibatan rakyat atau partisipasi rakyat sangat penting dalam penyusunan APBD baik sejak perencanaan, pembahasan maupun terhadap pengawasannya.
Sebelum membahas tentang bagaimana partisipasi masyarakat dalam penyusunan APBD, peneliti terlebih dahulu memberikan gambaran hasil penelitian tentang pengetahuan masyarakat Desa Puwuulo tentang APBD itu sendiri melaui penyebaran kusioner sebanyak 100 responden  yang didalamnya terdapat pertanyaan terbuka terkait pemahaman responden tentang APBD sebagaimana tabel berikut :



Tabel 1
Gambaran pemahaman responden terhadap APBD
No
Tanggapan responden terhadap pemahaman APBD
Jumlah
Persentase
1
§  APBD itu merupakan pedoman pengelolaan keuangan daerah,
§  APBD bersumber dari rakyat
§  APBD merupakan peraturan tentang penerimaan dan pengeluaran anggaran bagi pemerintah daerah
82
82 %


2
§  Tidak tahu
18
18%
Jumlah
100
100%
Sumber data : diolah dari kuisioner, April 2012

Dari tabel 1 tersebut, deperoleh gambaran bahwa pada umumnya masyarakat Desa Puwuulo sudah mengetahui tentang APBD yakni dari 100 responden, 82 diantaranya atau sekitar 82% masyarakat Desa Puwuulo sudah paham tentang APBD. Dari 82 responden telah memberikan jawaban yang oleh peneliti menyimpulkan pada tiga jawaban secara umum yakni; bahwa APBD merupakan pedoman pengelolaan keungan daerah, APBD bersumber dari rakyat dan APBD merupakan peraturan tentang penerimaan dan pengeluaran anggaran bagi pemerintah daerah. Sementara 18 orang responden lainnya atau sekitar 18% responden belum mengetahui sama sekali tentang APBD. Dengan demikian, pemahaman masyarakat Desa Puwuulo terkait APBD sudah cukup tinggi.
Kebijakan dalam APBD harus dapat berpihak pada rakyat. Indikator keberpihakan APBD terhadap rakyat paling tidak meliputi : APBD harus disusun berdasarkan skala prioritas, terukur, tepat sasaran dan dapat dipertanggung jawabkan. Bagaimana menentukan skala prioritas, terukur atau proporsional, tepat sasaran dan bertanggung jawab dalam penyusunan APBD? Tentunya untuk mewujudkan indicator tersebut dapat dilakukan melaui partisipasi rakyat. Untuk memperoleh gambaran keterlibatan masyarakat khususnya Desa Puwuulo Kec. Laeya Kab. Konsel dalam penyusunan APBD digambarkan pada Tabel 2 sebagai berikut :
Tabel 2
Tanggapan responden tentang keterlibatan dalam penyusunan APBD
No
Tanggapan responden tentang keterlibatan dalam penyusunan APBD
Jumlah
Persentase
1
Pernah terlibat melalui musrembang
37
37 %
2
Tidak Pernah terlibat
13
13%
3
Tidak terlibat karena tidak tahu bagaimana cara masyarakat untuk berpartisipasi
44
44%
4
Tidak menjawab
6
6%
Jumlah
100
100%
Sumber data : diolah dari kuisioner, April 2012

Dari tabel 2 tersebut diatas, diperoleh gambaran bahwa hanya sebagian kecil saja dari seratus orang responden yang pernah terlibat dalam penyusunan APBD yakni sebanyak 37 orang responden. Keterlibatan masyarakat ini hanya sebatas pada musrembang tingkat desa. Musrembang tingkat desa ini bertujuan untuk menjaring aspirasi dari rakyat khususnya dari masing-masing desa. Hasil musrembang tingkat desa ini kemudian ditindak lanjuti melalui musrembang tingkat kecamatan, kemudian dibahas kembali pada musrembang tingkat kabupaten. Hasil musrembang inilah yang diterjemahkan oleh masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk mebuat Rencana Kerja Anggaran (RKA) untuk satu tahun anggaran berikutnya. Dari RKA inilah yang dijadikan dasar oleh pemerintah untuk menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) yang selanjutnya akan dibahas bersama di DPRD untuk mendapatkan persetujuan.
Mekanisme penyusunan APBD tersebut justru partisipasi masyarakat bisa menjadi tidak ada artinya. Karena usulan pembangunan yang diusulkan masyarakat melaui musrembang tingkat desa, sangat mungkin tidak dapat terealisasi. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Kepala Desa Puwuulo, Juswan (Wawancara, 24 April 2012) bahwa :
Usulan pembangunan dari masyarakat melalui Musrembang tingkat desa misalnya pembangunan jalan, pembangunan kantor desa, posyandu dan sebagainya, belum tentu dapat direalisasikan pemerintah. Karena usulan dari masing-masing desa tadi, dibahas kembali pada tingkat musrembang kecamatan. Sehingga pada tingkat kecamatan saja sudah memungkinkan usulan dari beberapa desa dihilangkan meskipun usulan dari desa itu benar-benar dibutuhkan. Belum lagi kalau dibahas pada tingkat kabupaten, perjuangannya lebih ketat lagi. Paling tidak harus ada hubungan kedekatan dengan para pihak yang menentukan kebijakan di kantor daerah.

Dari hasil wawancara tersebut terungkap bahwa, sesungguhnya partisipasi masyarakat hanya sebatas pada perencanaan saja yakni pada musrembang tingkat desa. Hasil musrembang tingkat desa tersebut, tidak ada jaminan akan mendapatkan prioritas pembangunan melalui APBD karena mekanismenya harus dibahas kembali pada musrembang tingkat kecamatan dan kabupaten.
Lebih lanjut Juswan (Wawancara, tanggal 24 April 2012) mengungkapkan  bahwa :
Sudah seperti itu mekanismenya. Walaupun usulan dari masyarakat tadi lolos dalam pembahasan pada musrembang tingkat kabupaten untuk diusulkan dalam RAPBD, akan tetapi masih ada lagi mekanisme lain yang harus diwaspadai lagi. Yakni, pada saat proses pembahasan di DPRD. Pada saat pembahasan di DPRD bisa usulan dari desa kami tidak disetujui oleh dewan. Belum lagi ada masa reses yang dilakukan oleh anggota dewan yakni kunjungan langsung ke lapangan. Disini anggota dewan bisa bermain, melalui lokasi kunjungan kerjanya hanya pada daerah pemelihannya saja. Sehingga dengan cara ini bisa terjadi diskriminasi, yakni desa yang menjadi basis politik dari anggota dewan tertentu saja yang dapat tersentuh pembangunan. Buktinya, kami ini merupakan desa pemekaran yang sudah 6 tahun defenitif, tapi kami belum dialokasikan anggaran pembangunan untuk kantor desa maupun gedung fasilitas umum lainnya. Daripada menunggu lama dari pemerintah, kami bangun kator desa dan mesjid desa itu dengan menggunakan swadaya masyarakat.

Dengan demikian, musrembang yang dilakukan oleh masyarakat mulai pada musrembang tingkat desa, kecamatan dan kabupaten, justru tidak efektif untuk menjaring partisipasi masyarakat dalam penyusunan APBD. Karena ternyata, mekanisme panjang yang dialui masyarakat dapat dengan mudah tereliminasi melalui mekanisme yang dimiliki oleh anggota DPRD yakni pada saat pembahasan dan pada saat anggota dewan melakukan masa reses. 
Selain 37 responden pada tabel 2 tersebut diatas yang sudah pernah terlibat dalam penyusunan APBD, juga terdapat sekitar 13 responden atau setara dengan 13% responden yang tidak pernah terlibat sama sekali dalam penyusunan APBD. Sementara 44 responden lainnya atau sekitar 44% responden lainnya tidak pernah terlibat dalam penyusunan APBD karena tidak tahu dimana dan bagaimana cara mereka untuk berpatisipasi. Hal tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh salah seorang tokoh masyarakat       H. Soe (wawancara, tanggal 26 April 2012) bahwa :
Saya kira APBD itu, pemerintah yang susun. Kita ini sebagaia masyarakat biasa tidak mengetahui kalau kami perlu terlibat. Lagi pula kami tidak pernah dilibatkan atau diundang untuk menghadiri acara penyusunan APBD itu. Meskipun juga diundang, tidak bisa juga kami bicara, kami ini tidak pernah sekolah. Tapi meskipun kami tidak terlibat, seharusnya pemerintahlah yang harus memahami kodisi rakyatnya apa yang dibutuhkan. Jadi pemerintahlah yang harus turun ke lapangan sehingga mereka tahu apa masalah kami tanpa harus dikasi tahu. Sama seperti anggota dewan, kalau mereka tidak meperhatikan kami maka jangan harap kami akan pilih kembali kalau mereka mencalonkan kembali menjadi anggota dewan.

Dari hasil wawancara peneliti dengan responden tersebut, terungkap bahwa pada umumnya masyarakat tidak berpartisipasi dalam penyusunan APBD karena pada umumnya mereka tidak tahu dimana dan dengan cara bagaimana mereka berpartisipasi. Selain itu, kendala masyarakat utuk tidak berpartisipasi adalah pada umumnya mereka tidak pernah menyelesaikan pendidikan formal sehingga enggan untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan seremonial pemerintah. Akan tetapi, harapan masyarakat adalah meskipun mereka tidak terlibat sama sekali, mereka berharap kepada pemerintah maupun anggota dewan turun ke lapangan untuk melihat kondsi masyarakat agar dapat memahami apa yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Masyarakat berharap pemerintah lebih peka terhadap rasa keadilan dalam masyarakat.
 Dengan demikian, partisipasi masyarakat dalam penyusunan APBD ada tiga tahap yakni tahap perencanaan, pembahasan dan pengawasan.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam penyusunan APBD khususnya pada tahap perencanaan sangat rendah yakni hanya sekitar 37% saja dari seratus responden. Partisipasi masyarakat inipun hanya terbatas pada proses perencanaan paling bawah yakni musrembang tingkat desa saja. Sementara musrembang tingkat kecamatan maupun kabupaten tidak pernah terlibat sama sekali. Sementara partisipasi pada saat pembahasan APBD masyarakat tidak pernah terlibat sama sekali termasuk partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap APBD juga tidak pernah terlibat secara langsung.

BAB 10. PENUTUP
a.      Kesimpulan
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam penyusunan APBD ada tiga tahap yakni tahap perencanaan, pembahasan dan pengawasan.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam penyusunan APBD khususnya pada tahap perencanaan sangat rendah yakni hanya sekitar 37% saja dari seratus responden. Partisipasi masyarakat inipun hanya terbatas pada proses perencanaan paling bawah yakni musrembang tingkat desa saja. Sementara musrembang tingkat kecamatan maupun kabupaten tidak pernah terlibat sama sekali. Sementara partisipasi pada saat pembahasan APBD masyarakat tidak pernah terlibat sama sekali termasuk partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap APBD juga tidak pernah terlibat secara langsung.
b.      Saran
1.      Kepada pemerintah, seharusnya lebih membuka ruang partisipasi kepada masyarakat untuk terlibat dalam segala proses penyusunan APBD agar APBD kedepan dapat berpihak kepada rakyat.
2.      Kepada masyarakat khususnya Desa Puwuulo, lebih pro aktif dalam kegiatan pemerintahan khususnya kritis terhadap kebijakan anggaran melalui pelibatan diri mulai sejak perencanaan, pembahasan dan juga turut serta mengawasi realisasi APBD agar tepat sasaran.


DAFTAR PUSTAKA

A.    BUKU
Aswanto, Tata Tertib DPRD untuk Parlemen Yang Amanah. Kopel Sulawesi, 2007

Alimsyah, Syamsuddin, 2001.  Panduan Memantau APBD. Kopel Sulawesi

Ruslan, Achmad. 2005. Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Kualitas Produk Hukumnya yang Berkualitas, (Makassar : Disertasi Universitas Hasanuddin)

Rustan, Ahmad, 2011.  Analisis Putusan MK Nomor : 17/PUU-VI/2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah, (Tesis Universitas Muhammadiyah Jakarta)

Gunawan, Bondan. 2000. Apa Itu Demokrasi, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan),

Husain, Wahyuddin dan H.Hufron, 2008. Hukum, Politik dan Kepentingan, (Yogyakarta : Laks Bang PRESSindo),

Noer,  Deliar, 1983. Pengantar ke Pemikiran Politik, (Jakarta : CV. Rajawali)

Abdillah, Pius dan Prasetya, Danu. tt. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya : Arkola).

Surbakti, Ramlan 1992. Memahami Ilmu Politik. (Jakarta : Grasindo).  

B.                       JURNAL

Arifai.  Strategi Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Hukum LEGITIME Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari Volume I No. 1 Edisi Februari 2011

New Letter KOPEL, Edisi November 2005

Rachman,  Irfan Nur. Penguatan Fungsi Pengawasan Legislatif Terhadap Eksekutif Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi Volume 8 Nomor 2, April 2011 diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi

Sose, Andi Jaya.  Pemerataan Antar Daerah dan Peningkatan Efesiensi : Telaah UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU nomor 25 Tahun 1999. Jurnal Clavia Fakultas Hukum Universitas 45 Makassar Volume 4, Nomor 2 Juli 2003

Sampara, Said.  Pemerintahan yang Bersih dan Good Governence. Jurnal Hukum ISLAH Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar.


[1] Rinto Andriono, Memantau Anggaran Publik. www.google.com, diakses pada tanggal 25Februari 2012
[2] Syamsuddin Alimsyah, Panduan Memantau APBD. Kopel Sulawesi
[3] Irfan Nur Rachman, Penguatan Fungsi Pengawasan Legislatif Terhadap Eksekutif Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi Volume 8 Nomor 2, April 2011 diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi, hlm.76
[4] Dikutip dari New Letter KOPEL, Edisi November 2005
[5] Andi Jaya Sose, Pemerataan Antar Daerah dan Peningkatan Efesiensi : Telaah UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU nomor 25 Tahun 1999. Jurnal Clavia Fakultas Hukum Universitas 45 Makassar Volume 4, Nomor 2 Juli 2003, hlm.156
[6] Said Sampara, Pemerintahan yang Bersih dan Good Governence. Jurnal Hukum ISLAH Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar, hlm.100
[7] Arifai, Strategi Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Hukum LEGITIME Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari Volume I No. 1 Edisi Februari 2011, hlm.140
[8] Bondan Gunawan, Apa Itu Demokrasi, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2000), hlm.1
[9] Juanda, dalam Ahmad Rustan, Analisis Putusan MK Nomor : 17/PUU-VI/2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah, (Tesis Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2011).  hlm. 75
[10] Deliar Noer,  Pengantar ke Pemikiran Politik, (Jakarta : CV. Rajawali, 1983), hlm. 207.
[11] Joko J Prihatmoko, Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi, (Semarang : LP2I press, 2003), hlm. 183.
[12] Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. (Jakarta : Grasindo, 1992).   Hlm : 181-182
[13] Endang Sulistyaningsih, Op. Cit, hlm. 103
[14] HM.Wahyuddin Husain dan H.Hufron, Hukum, Politik & Kepentingan, (Yogyakarta : Laks Bang PRESSindo, 2008), hlm. 109
[15] Achmad Ruslan, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Kualitas Produk Hukumnya yang Berkualitas, (Makassar : Disertasi Universitas Hasanuddin, 2005), hlm. 128
[16] Lihat penjelasan Pasal 53 UU Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[17] Pius Abdillah & Danu Prasetya, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya : Arkola, tt). hlm.  591
[18] Aswanto, Tata Tertib DPRD untuk Parlemen Yang Amanah. Kopel Sulawesi, 2007, hlm.13
/[ 0 komentar Untuk Artikel  Partisipasi Masyarakat Dalam Penyusunan APBD di desa Puwulo Kec. Laeya Kabupaten Konawe Selatan]\

Posting Komentar