PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM
PENYUSUNAN APBD
DI DESA PUWULO KEC. LAEYA KAB.
KONAWE SELATAN
Oleh :
Ahmad Rustan, Nur Nashriani Djufri, dan Dirawati
Diterbitkan melalui Jurnal Hukum LEGITIME Volume III. No. 1, Edisi Maret 2013
Abstrak
Peran serta masyarakat
dalam penyusunan peraturan perundang-undangan khususnya Perda APBD
merupakan hak masyarakat baik pada tingkat
penyiapan maupun pada tahap pembahasan. Dalam konteks hak asasi manusia, setiap
hak melahirkan kewajiban pada pemerintah, sehingga haruslah jelas pengaturan
mengenai kewajiban pemerintah dalam memfasilitasi terpenuhinya hak-hak
masyarakat. Partisipasi masyarakat itu menjadi penting
karena pengalaman selama ini membuktikan bahwa rangkaian hajatan APBD hanyalah
merupakan seremonial belaka, sehingga keterlibatan masyarakat dalam penyusunan
APBD diharapakan dapat mengakomodir kepentingan masyarakat sehingga dapat
melahirkan APBD yang pro rakyat.
Kata Kunci : Partisipasi, Masyarakat, Perda APBD
BAB 1 PENDAHULUAN
Otonomi daerah secara resmi telah
dimulai sejak tahun 2000 dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini kemudian tidak berlaku setelah
lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
terakhir mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
perubahan atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Otoda telah
memasuki usia 12 tahun dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Maksud utama
otonomi daerah adalah diharapkan daerah
menjadi lebih mandiri dalam mengurus
urusan pemerintahnnya yang pada gilirannya akan mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya. Distribusi pendapatan akan lebih merata dan tidak terkonsentrasi
di segelintir tempat saja.
Salah satu aspek yang paling
penting dalam otoda adalah otonomi pengelolaan keuangan daerah yang biasa kita kenal dengan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Seberapa jauh arti penting anggaran dalam
mencapai tujuan otonomi? Sejauh mana APBD dapat mendongkrak kesejahteraan
masyarakatnya? Ini semua amat penting untuk diketahui oleh semua pihak, para
pemangku kepentingan (stakeholder). Dengan
demikian diharapkan APBD akan lebih tepat sasaran, transparan dan akuntabel.
Inilah yang diharapkan dari setiap isu yang mengatasnamakan reformasi dalam bidang
apapun di negeri ini : good government
and governance.
Awalnya
fungsi anggaran publik adalah pedoman bagi pemerintah dalam mengelola negara
atau daerah otonom untuk satu periode di masa yang akan datang, namun karena
sebelum anggaran publik dijalankan harus mendapatkan persetujuan dari lembaga
perwakilan rakyat maka anggaran publik berfungsi sebagai alat pengawasan
masyarakat terhadap kebijakan publik yang dipilih oleh pemerintah. Selain itu
karena pada akhirnya setiap anggaran publik harus dipertanggunjawabkan
pelaksanaannya oleh pemerintah kepada lembaga perwakilan rakyat, berarti
anggaran negara juga berfungsi sebagai alat pengawas bagi masyarakat terhadap
kemampuan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan yang telah dipilihnya.
Fungsi
anggaran publik pada uraian sebelumnya, maka anggaran publik harus dilihat
sebagai power relation antara eksekutif,
legislatif dan rakyat sendiri. Bagi rakyat yang harus dilakukan adalah memantau
arah dari prioritas kebijakan yang dibuat pemerintah satu tahun mendatang yang
akan dinyatakan dalam bentuk nominal dalam anggaran. Tujuan pemantauan
prioritas adalah memantau apakah prioritas kebijakan efektif untuk kepentingan
rakyat banyak atau tidak. Bagi Indonesia dan bagi daerah-daerah kabupaten atau
kota dan propinsi di Indonesia prioritas anggaran publiknya hingga 70-80%-nya
digunakan untuk membiayai gaji dan fasilitas birokrasinya sedangkan yang
kembali kepada rakyat dalam bentuk anggaran pembangunan baru 30-20% saja.
Selain itu mengingat anggaran publik adalah pernyataan sebuah power relation antara
kekuatan-kekuatan politik maka ada kemungkinan terjadi politik uang dalam
penyusunan anggaran. Oleh karena itu sangat strategis peran pemantauan anggaran
yang dilakukan oleh elemen-elemen masyarakat sipil yang ada.
Penyusunan
anggaran (APBD) di era otoda menjadi urusan strategis bagi daerah. Pada masa
orde baru otoritas ini dipegang secara sentralistis pada eksekutif yaitu
pemerintah pusat. Sedangkan pemerintah daerah bersama DPRD hanya bertugas
mengalokasikan sebagian kecil dari APBD, sekitar 10% bagi daerah miskin dan
sekitar 20% bagi daerah kaya, yaitu porsi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sekarang
ini wewenang untuk menentukan prioritas kebijakannya yang ditunjukan dalam APBD
sepenuhnya menjadi otoritas daerah.
Berdasarkan
perubahan tersebut, maka memantau anggaran adalah strategis paling tidak untuk
dua hal pertama memantau efektifitas prioritas kebijakan yang dipilih oleh
pemerintah. Tentu saja kebijakan akan semakin efektif jika semakin sesuai
dengan kebutuhan rakyat. Kedua, memantau penyimpangan yang mungkin terjadi
dalam setiap tahap penganggaran dalam siklus anggaran.
Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dimanapun memiliki kesulitan untuk melakukan asessment prioritas kebutuhan rakyat
yang harus didahulukan dalam APBD. Sementara itu, pemerintah daerah selaku
eksekutif memiliki kemampuan dan jajaran birokrasi untuk melakukan penyusunan
anggaran daerah. Mekanisme yang selama ini dilakukan oleh eksekutif adalah
melalui Rakorbang (rapat koordinasi pembangunan) dari tingkat propinsi hingga
ke desa. Mekanisme ini masih jauh dari konsep partisipasi publik dan apalagi
transparansi serta akuntabilitas.
Kondisi
yang berubah tersebut memicu beberapa kecenderungan pertama, adanya jargon dari
pemerintah-pemerintah daerah yang begitu kuat untuk meningkatkan PAD
(Pendapatan Asli Daerah) dalam rangka otonomi daerah. Selain itu melihat
kondisi masyarakat yang sedang kesulitan karena subsidi-subsidi dihapus maka
akan lebih baik bila ekstensifikasi pajak dilupakan terlebih dahulu.
Kecenderungan kedua adalah, otoritas yang sangat besar bagi DPRD untuk menyusun
APBD dan menyusun anggaran untuk dirinya sendiri, namun tidak ada pengawasan
yang sistematis dari manapun kecuali rakyat berkesadaran untuk melakukannya.
Dengan demikian kembali pada kenyataan bahwa anggaran adalah power relation
maka kemungkinan terjadinya suap (bribery)
terhadap DPRD untuk menyetujui pos anggaran tertentu yang tidak dibutuhkan
rakyat sangat mungkin terjadi.
Dengan
melihat perubahan diatas maka memantau anggaran adalah strategis paling tidak
untuk dua hal pertama memantau efektifitas prioritas kebijakan yang dipilih
oleh pemerintah. Tentu saja kebijakan akan semakin efektif jika semakin sesuai
dengan kebutuhan rakyat. Kedua, memantau penyimpangan yang mungkin terjadi
dalam setiap tahap penganggaran dalam siklus anggaran. Dengan demikian, untuk
mewujudkan APBD tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, maka
partisipasi masyarakat menjadi sangat penting[1].
Partisipasi masyarakat itu menjadi
perlu dan penting karena pengalaman selama ini membuktikan bahwa rangkaian
hajatan APBD hanyalah merupakan dunia seremonial belaka. Perencanaan yang
pas-pasan, pembahasan seadanya, pelaksanaan yang ala kadarnya, pertanggung jawaban
seadanya dan pengawasan tutup mata dan semuanya serba pas-pasan. Masyarakat
khususnya di pedesaan sangat penting melibatkan diri dalam perencanaan,
pembahasan, pelaksanaan sampai pada tahap pengawasan terhadap APBD. Partisipasi
masyarakat ini diharapkan dapat mengakomodir aspirasi masyarakat untuk tujuan
pembangunan di masing-masing desa agar dapat dianggarkan dalam APBD.
Berdasarkan observasi awal peneliti
di 10 desa di Kabupaten Konawe Selatan pada bulan Februari 2012, sebagian besar
masyarakat tidak pernah terlibat dalam penyusunan APBD dan bahkan tidak
mengetahui bagaimana masyarakat berpartisipasi dan dimana ruang masyarakat
untuk dapat menyampaikan aspirasinya. Beberapa diantara masyarakat sudah tahu
ruang partisipasi untuk mengusulkan program pembangunan melalui musrembang.
Akan tetapi, semua usulan masyarakat tidak pernah terealisasi. Realitas ini
merupakan salah satu indicator bahwa APBD disusun berdasarkan perspektif
pemerintah sehingga besar kemungkinan APBD tersebut tidak tepat sasaran.
Sehingga fakta sangat penting untuk dilakukan penelitian lebih lanjut dalam
rangka mewujudkan peran dan partisipasi masyarakat dalam penyususnan APBD.
Lemahnya partisipasi masyarakat
dalam penyusunan APBD, dapat menghambat pembangunan di desa sehingga masyarakat
sudah selayaknya diberikan ruang untuk berpartisipasi di semua tahapan dalam
pengambilan kebijakan khususnya dalam penyusunan APBD. Inilah yang mendasari
penelitian ini dalam rangka untuk mengetahui peran dan partisipasi masyarakat
dalam penyusunan APBD, dengan judul “Partisipasi
Masyarakat dalam Penyususnan APBD”.
BAB 2. RUMUSAN
MASALAH
Adapun Rumusan Masalah dalam penelitian ini
adalah : Bagaimanakah partisipasi masyarakat dalam penyusunan APBD di Desa
Puwuulo Kec. Laeya Kab. Konsel?
BAB 3. TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD)
Secara filosofis, anggaran pemerintah
adalah dokumen kesepatan antara eksekutif dengan legislatif dalam bidang
keuangan yang berisi rencana penerimaan dan penggunaannnya dalam satu tahun
anggaran. Satu tahun anggaran meliputi periode satu tahun kalender yang dimulai
dari tanggal 1 januari sampai dengan 31 Desember. Jadi kalau dikatakan tahun
anggaran 2011 misalnya, berarti tahun anggran dimulai pada tangggal 1 Januari
2011 sampai dengan tanggal 31 Desember 2011 mendatang.
B.
Siklus Anggaran.
Siklus anggaran meliputi enam
tahap sebagai berikut [2]:
1. Usulan anggran dari SKPD.
2. Pembahasan anggaran ditingkat panitia
anggaran eksekutif.
3. Pembahasan anggaran dengan
legislatif.
4. Pengesahan anggaran.
5. Pelaksanaan anggran.
6. Pertanggung jawaban anggran.
Pembanguann suatu daerah mesti
direncanakan dengan baik. Untuk itulah pemerintah mesti membuat perencanaan
pembangunan di daerahnya baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Perencanaan jangka
pendek dikenal dengan sebutan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), rencana
pembangunan jangka menengah dikenal dengan sebutan Rencana Pembanunan Jangka
Menegah Daerah (RPJMD), rencana pembangunan jangka panjang disebut dengan
Rencana Pembangunan Jangak Panjang Daerah (RPJPD). RPJPD diterjemahkan dalam
RPJMD, dan RPJMD dijabarkan setiap tahunnya melalui RKPD. Selanjutnya RKPD
dijabarkan secara detail dalam RAPBD untuk ditetapkan bersama DPRD menjadi
APBD.
Rancangan Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah disusun berdasarkan usulan anggaran dari Satuan Kerja Perangkat
Daerah (Dinas Kantor dan Badan). Dalam penyususnan anggaran setiap SKPD mesti
memperhatikan masukan masyarakat melalui mekanisme Musyawarah Rencana
Pembangunan (Musrembang). Dalam forum musrembang inilah masyarakat diberikan
seluas-luasnya kesempatan untuk memberikan usulan kegiatan sesuai dengan
kenbutuhan dan prioritas wilayahnya masing-masing.
Berdasarkan usulan dari seluruh unit kerja
(SKPD), maka panitia anggaran eksekutif yang dikoordinir oleh Sekretaris Daerah
menyususn RAPBD, memverifikasi ususlan SKPD sesuai skala prioritas daerah,
serta kesesuaian dan konsistensi dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD). Selanjutnya RAPBD diserahkan kepada DPRD untuk dibahas sesuai
dengan mekanisme/tata tertib DPRD. Dalam melakukan kajian atas usulan
anggaran pemerintah melalui RAPBD
tersebut, DPRD harus melakukan penjaringan aspirasi masyarakat untuk mengetahui
kebutuhan mendesak dan prioritas di wilayah tersebut. Media menjaring aspirasi
inilah yang kita kenal dengan sebutan “constituent
meetin” (temu konstituen). Pada umumnya forum penjaringan aspirasi model
ini lebih efektif dibanding mekanisme musrembang. Hal tersebut disebabkan
karena alasan sebagai berikut:
1. Periode waktu yang lebih pendek.
Hasil temu konstituen langsung dapat diakomodir dalam penganggaran saat itu.
Hal ini berbeda dengan pola musrembang dimana hasil musrembang tersebut baru akan
diususlkan untuk tahun anggaran mendatang.
2. Short Cut. Artinya
tidak melalui tahapan yang berbelit-belit. Usulan dari temu konstituen dibawa
dan diperjuangakan secara langsung oleh anggota DPRD. Hal ini berbeda dengan
musrembang yang harus melalui beberapa tahapan. Yakni musrembang Desa/Kelurahan
dimana hasilnya akan dilanjutkan ke musrembang tingkat kecamatan, selanjutnya
diteruskan pada musrembang tingkat kabupaten. Dalam setiap tahapan ini,
memungkinkan hasil musrembang tingkat kecamatan tidak lagi mengakomodir hasil
musrembang pada tingkat Desa/Kelurahan. Demikian pula sebaliknya, hasil
musrembang pada tingkat kecamatan belum tentu dapat terjaring pada musrembang
pada tingkat kabupaten/kota, dalam artian bahwa hasil musrembang tingkat bawah
memiliki potensi besar untuk dapat dibatalkan pada musrembang yang lebih
tinggi.
Setelah melalui pembahasan dan
persetujuan di DPRD, maka RAPBD disahkan menjadi APBD dalam bentuk Peraturan
Daerah tentang APBD. Perda APBD merupakan bentuk otorisasi parlementer yang memberikan
otorisasi kepada pemerintah daerah untuk melakukan penerimaan dan membuat
pengeluaran hanya sebesar plafon anggran yang tercantum dalam APBD. Oleh karena
itu, dalam konteks ini maka pemerintah daerah tidak diperkenangkan melakukan
pengeluaran atau melakukan pungutan dari masyarakat selain yang tercantum dalam
APBD. Pelanggaran terhadap perda APBD ini dianggap pemerintah tidak amanah dan
tidak layak menduduki kursi pemerintahan.
Penyusunan Peraturan Daerah
tentang APBD, legislatif memiliki peranan yang sangat strategis dalam rangka
mewujudkan APBD yang berpihak pada rakyat. Berdasarkan Pasal 20 UUD NRI tahun
1945, fungsi lembaga perwakilan atau parlemen dibagi menjadi tiga fungsi yakni,
fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan[3]. Dengan
demikian legislatif memiliki peranan penting untuk dapat melahirkan APBD yang
berpihak pada rakyat khususnya bagimana mengakomodir aspirasi dari
masing-masing konstituen para wakil rakyat.
Peraturan Daerah APBD selanjutnya
menjadi dasar bagi pemerintah untuk membuat pengeluaran maupun melakukan
pungutan guna membiayai pengeluaran sebatas yang tersebut dalam APBD. Tata cara
pemungutan dan pengeluaran atas beban APBD diatur sesuai mekanisme yang
berlaku. Berdasarkan Perda APBD inilah selanjutnya setiap SKPD membuat rencana
pelaksanaan kegiatan, apakah akan dikerjakan sendiri (swakelola) atau melalui
jasa pihak ketiga (lelang umum).
Setiap tahun anggran, pemerintah
wajib mempertanggung jawabkan pelaksanaan APBD
kepada rakyat selaku pemberi mandat melalui DPRD. Disinilah mestinya
para anggota DPRD bisa lebih kritis dalam mengevaluasi pelaksanaan APBD oleh
eksekutif disetiap akhir tahunnya. Apakah program dan kegiatan telah
dilaksanakan dengan benar, telah memberikan manfaat bagi masyarakat dan
seterusnya. Evaluasi ini juga penting sebagai umpang balik bagi penganggaran
selanjutnya.
Tujuan Perda APBD partisipatif
adalah : Pertama, meningkatkan partisipasi
aktif masyarakat dalam proses pengelolaan pembangunan. Kedua, meningkatkan kulaitas pengelolaan pembangunan berbasis
masyarakat. Ketiga, menghasilkan
agenda pembangunan yang disusun dari, oleh dan untuk masyarakat. Keempat, menghasilkan program atau
kegiatan pembangunan yang tepat sasaran, tepat kebutuhan dan tepat alokasi. Kelima, menumbuhkan respon masyarakat dalam
rangka mewujudkan kepemerintahan yang baik[4].
Selain kelima tujuan perda APBD
partisipatif tersebut, muara dari penyusunan APBD diharapkan dapat mewujudkan
tercapainya efesiensi anggaran. APBD dapat tepat sasaran dan tepat alokasi jika
dilakukan efesiensi anggaran. Tidak tercapainya suatu efesiensi[5] dapat
terjadi karena telah menguatnya budaya korupsi dalam pengelolaan proyek-proyek
pemerintahan terutama berkaitan dengan pembangunan infrastruktur.
Dalam konteks reformasi pemerintahan
yang berlangsung dewasa ini, menuntut adanya penyelenggaraan pemerintahan yang
baik (Good Governence). Menurut Said
Sampara[6] bahwa
pemerintahan yang baik menghendaki adanya akuntabilitas, transparansi,
keterbukaan dan rule of law. Sementara
pemerintahan yang bersih menuntut terbebasnya praktek yang menyimpang khususnya
Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN).
Terjadinya praktek Korupsi di
Indonesia menurut Arifai[7],
disebakna karena buruknya kinerjabirokrasi di Indonesia. Birokrasi yang
berbelit-belit dan panjang dapat menimbulkan praktek KKN dan ini terjadi
dihampir semua lembaga dan semua aspek.
C.
Konsep Demokrasi.
Istilah
demokrasi berasal dari Yunani yang terdiri dari dua perkataan yaitu, demos yang berarti rakyat dan cratein yang berarti memerintah. Dengan
demikian secara terminologi berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat.[8]
Sejalan
dengan itu, Hans Kelsen menjelaskan
:”that all power should be exercised by
one collegiate organ the member of which are elected by the people and which
should be legally responsible to the people”. (bahwa semua kekuasaan harus
dilaksanakan oleh suatu organ kolega yang para anggotanya dipilih oleh rakyat
dan secara hukum harus bertanggung jawab kepada rakyat)[9].
Begitu pula dengan Deliar Noer memberikan defenisi
demokrasi bahwa:
Negara demokrasi
adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat atau
jika ditinjau dari sudut organisasi berarti suatu pengorganisasian negara yang
dilakukan oleh rakyat sendiri atas asas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada
ditangan rakyat.[10]
Berdasarkan pendapat para ahli
hukum tersebut mengenai pengertian demokrasi, dapat disimpulkan bahwa hak
partisipasi publik dalam menentukan kebijakan publik adalah implementasi dari
asas demokrasi
Esensi demokrasi adalah partisipasi politik. Nie dan King, mendefenisikan
partisipasi politik, “By political
participation, we refer to those legal activities bay private citizens that are
more or less directly aimed at influencing the selection of govern-mental
personnel and/or the actions they take”.[11]
Menurut Ramlan Surbakti bahwa tinggi rendahnya partisipasi politik
ditentukan oleh kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintahan (sistem
politik).[12]
Yang dimaksud dengan kesadaran adalah kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai
warga negara, yang berhubungan dengan pengetahuan seseorang tentang lingkungan
masyarakat dan politik, dan menyangkut minat dan perhatian terhadap lingkungan
masyarakat dan politik. Sedangkan yang dimaksud dengan sikap dan kepercayaan
kepada pemerintahan adalah penilaian seseorang terhadap pemerintahan, apakah
pemerintahan dapat dipercaya atau dapat dipengaruhi atau sebaliknya?[13] Penentuan pejabat politik
merupakan bagian dari partisipasi politik. Pemilihan pejabat politik secara
langsung lebih demokratis dibandingkan melalui mekanisme perwakilan.
Amin Rais memaparkan ada
sepuluh kriteria demokrasi yaitu[14] :
1.
Partisipasi dalam pembuatan keputusan;
2.
Persamaan di depan hukum;
3.
Distribusi pendapatan secara adil;
4.
Kesempatan pendidikan yang sama;
5.
Empat macam kebebasan yaitu : kebebasan mengeluarkan
pendapat, kebebasan pers, kebebasan berkumpul dan kebebasan beragama;
6.
Ketersediaan dan keterbukaan informasi;
7.
Mengindahkan tata krama politik;
8.
Kebebasan individu;
9.
Semangat kerjasama; dan
10. Hak untuk protes.
D.
Partisipasi
Salah satu teori sebagai alat analisis adalah teori tangga partisipasi oleh Sherry R. Arstein (Ahmad Ruslan) . Partisipasi adalah kata yang
tidak jelas, memiliki arti beragam bagi setiap orang ( Arnstein, 1969). Dalam
Teori tangga partisipasi ini menyediakan parameter sampai sejauh mana sebuah
partisipasi dalam mengambil keputusan publik.
Model Arnstein disusun berdasarkan “ corresponding
to the extent of citizen’s power in determining the plan and/or program.” (
Arstein, 1969:216-224). Dalam model ini ada tiga derajat partisipasi masyarakat
; (1).Tidak partisipatif (nonparticipation);
(2) derajat semu ( degrees of tokenism)
dan (3) kekuatan masyarakat ( degrees of
citizen power ).[15]
Untuk lebih lanjut dalam hal pembentukan
peraturan perundang-undangan dikenal istilah good governance yang merupakan
prasyarat untuk pembentukan legislasi.
Pasal 53 UU No.10 tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bila ditafsirkan secara hukum
metode untuk mewujudkan hak partisipasi masyarakat tersebut bisa dilaksanakan
secara lisan dan tertulis dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan
undang-undang dan rancangan peraturan daerah.[16] Dalam
hal ini menurut penjelasan dari kamus Bahasa Indonesia :
“Lisan
berarti kata-kata yang diucapkan atau berkenaan dengan kata-kata yang
diucapkan. Artinya secara langsung warga masyarakat dapat menyampaikan
pendapat, aspirasi, keluhan atau keberatan, melalui tatap muka secara langsung
dengan sejumlah pihak yang memiliki kewenangan hukum menerima dan menampung
partisipasi masyarakat. Tertulis,
partisipasi ,masyarakat dilakukan dengan cara menuangkan tulisan, baik berupa
tulisan tangan maupun diketik, kemudian disampaikan kepada lembaga tertentu
sesuai dengan mekanisme yang ditentukan”[17].
Ditinjau dari tahapan keterlibatannya,
secara hukum masyarakat hanya diberikan hak untuk berpartisipasii disaat
penyiapan dan pembahasan. Makna penyiapan dalam konteks keterlibatan publik
bisa berupa :
1. Mengusulkan
atau memberikan masukan topik, atau masalah terkait untuk diatur dalam legislasi.
2. Menyiapkan
draft rancangan usulan legislasi
Sedangkan dalam proses pembahasan,
keterlibatan publik bisa berupa :
1. Mendengarkan
proses-proses diskusi/persidangan dalam proses pembahasan di DPR/DPRD.
2. Diundang
untuk memberikan masukan terhadap draft yang sedang dibahas.
3. Mengusulkan
secara langsung sebelum maupun ditengah persidangan pembahasan
4. Dengar
pendapat
Sebagaimana dirumuskan dalam pasal
53 UU No 10 tahun 2004, masyarakat memiliki hak berpartisipasi secara lisan
dan tertulis dalam rangka penyiapan dan
pembahasan rancangan undang-undang atau rancangan peraturan daerah. Dalam
penjelasan pasal 53 UU No.10 tahun 2004 ini, memiliki rumusan bahwa Hak
masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib
Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
Hal
ini berarti secara hukum ada pembatasan terkait dengan mekanisme hukum
partisipasi yang ditentukan oleh dua produk hukum sesuai dengan tingkatannya,
yakni :
1. Peraturan
Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat (Tatib DPR), untuk berpartisipasi dalam
penyiapan dan pembahasan undang-undang;
2. Peraturan
Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (Tatib DPRD), untuk berpartisipasi dalam penyiapan dan pembahasan
peraturan daerah.
Dengan demikian peran
serta masyarakat dalam penyusunan peraturan perundang-undangan khususnya Perda APBD merupakan hak masyarakat
baik pada tingkat penyiapan maupun pada tahap pembahasan. Dalam konteks hak
asasi manusia, setiap hak melahirkan kewajiban pada pemerintah, sehingga
haruslah jelas pengaturan mengenai kewajiban pemerintah dalam memfasilitasi
terpenuhinya hak-hak masyarakat.
Pasal 5 dan 6 UU No.10 Tahun 2004,
dikemukakan adanya asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, dalam
pasal 5, ada salah satu asas yang menyinggung secara langsung kaitannya dengan
partisipasi public yakni asas keterbukaan. Yang dimaksuud asas “keterbukaan”
adalah bahwa dalam proses pembentukan perturan perundang-undangan mulai dari
perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan
terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang
seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan
perundang-undangan.
Sebagaimana yang telah disebutkan
diatas bahwa dalam asas keterbukaan tersebut ada 4 (empat) level keterlibatan
publik yakni : Perencanaan, Persiapan,
Penyusunan, dan Pembahasan.
Bentuk kongkrit partisipasi publik
yang dimaksud adalah :
1. Akses untuk memperoleh informasi,
atas dasar partisipasi penegasan
transparansi atau keterbukaan disetiap levelnya.
2. Kesempatan seluas-luasnya
memberikan masukan dalam proses
pembuatan peraturan perundang-undangan.
Dalam banyak kasus, memang
pendekatan partisipatif menjadi bagian dari alat kooptasi baru bagi rezim yang
berkuasa dan bukan sebagai alat pembebasan sehingga sesungguhnya wajah penindasan
dari pembangunan sebenarnya tetap ada, hanya terbungkus oleh jargon
partisipasi.( Rahnema, 1995). Oleh karena itu pendekatan partisipatif haruslah
berubah pemaknaannya dari sekadar kata keadaan (keterlibatan rakyat dalam
proses pembangunan, termasuk pembentukan peraturan perundang-undangan) menjadi
kata kerja (pendekatan untuk menempatkan posisi masyarakat secara politik
sebagai pelaku pembangunan), secara filosofi, pendekatan partisipatoris
berbasis pada prinsip “proses belajar berdasarkan pengalaman untuk capability building dan institutional strengthening”, sehingga masyarakat
tampil sebagai pelaku pembangunan yang mandiri (Ohama, 2001). Sehingga
diharapkan setiap kebijakan yang dikeluarkan penyelenggara negara akan jauh
lebih efektif dan ada perasaan untuk memiliki akan kebijakan tersebut ( sense of belonging ), karena masyarakat
lebih berdaya.
Dengan adanya konsep dasar partisipasi
yang demikian, maka tindakan kunci untuk perubahan menyeluruh kebijakan ditingkat
harus didorong melalui :
1. Rekonstruksi kelembagaan negara
yang lebih memberikan jaminan
partisipasi politik kewargaan.
2. Pergeseran konsep top-down menjadi proses bottom-up, sehingga posisi dan suara
masyarakat senantiasa diutamakan dalam
kebijakan apapun.
3. Adanya peningkatan kemampuan
masyarakat (capacity building) dan
penguatan kelembagaan masyarakat setempat (local institutional strengthening),
dengan cara melibaatkan diri dalam setiap kebijakan. Oleh karena itu prasyarat
pengorganisasian masyarakat menjadi penting untuk proses trannsformasi kemampuan
publik menjalankan control terhadap kekuasaan politik.
Berdasarkan pada hal tersebut,
maka perlu pemikiran untuk mengembangkan metode partisipasi publik berbasis
konteks hukum dan politik lokal yang sebenarnya banyak memberikan pelajaran
berharga untuk mendorong transformasi demokratisasi ditingkat bawah.
Setumpuk regulasi yang mengatur
tentang hak partisipasi masyarakat tidak akan terimplementasi dengan baik jika
keinginan untuk menciptakan good governance
tidak dijadikan sebagai prinsip dasar dalam pengelolaan tata pemerintahan
yang baik. Indikator untuk mengukur sebuah kebijakan berpihak pada rakyat
sangatlah sederhana. Menurut Aswanto[18], sebuah
kebijakan yang memenuhi unsur partisipasi masyarakat dalam penyusunannya tidak
akan menuai protes atau perlawanan dari masyarakat, karena masyarakat turut
terlibat didalamnya sehingga kepentingan masyarakat terakomodir didalamnya.
BAB 4. TUJUAN
PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui peran dan partisipasi masayarakat dalam penyusunan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD).
BAB 5. METODE
PENELITIAN
a.
Pendekatan dan Definisi Operasional
Permasalahan penelitian
diurai dengan menggunakan pendekatan prosesual. Penekanan pada pendekatan
prosesual dimaksudkan agar peneliti dan proses penelitian tidak terjebak dalam
suatu kerangka teoritik yang kaku dan bersifat stereotypic. Dengan pendekatan proses maka penelusuran data dan
informasi secara diacronik dilakukan untuk menggali data dan memahami secara
runtun dan lengkap proses atau mekanisme sosial yang mengiringi tumbuh dan
bertahannya (persistensi) budaya partisipasi, juga yang melatari terhambatnya partisipasi masyarakat dalam penyusunan APBD khususnya di Kabupaten
Konawe Selatan.
Istilah resistensi
disini difahami sebagai suatu keadaan penolakan atau tidak dapat tumbuh dan
berkembangnya budaya partisipasi yang diharapkan.
Persistensi difahami sebagai keadaan bertahan atau dapat tumbuh dan
berkembangnya budaya partisipasi
masyarakat dalam penentuan kebijakan daerah khususnya APBD di Kabupaten Konawe
Selatan.
b. Sumber Pengumpulan Data dan Analisis Data
Data dan informasi yang
diperlukan untuk menjelaskan permasalahan penelitian dikumpulkan dari dua
sumber yaitu sumber-sumber primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui
wawancara dan penyebaran
kuisioner sebanyak 100 responden. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari hasil olahan
data berupa dokumen
tertulis,
laporan, publikasi, dan sebagainya.
Wawancara mendalam akan
dilakukan dengan sejumlah informan di seluruh komunitas sasaran yang menjadi
lokasi penelitian maupun informan-informan lain yang dianggap relevan bagi
kepentingan penelitian ini. Informan
yang secara intensif diwawancarai adalah penduduk atau tokoh-tokoh masyarakat, perangkat desa. Pengamatan tentang proses partisipasi masyarakat dalam penyusunan APBD.
Analisisi data dilakukan
secara simultan bersamaan dengan proses pengumpulan data (ongoing analysis), dengan menggunakan teknik analisis data yang
lazim berlaku dalam penelitian kualitatif. Proses analisa data dalam penelitian
kualitatif mencakup pengujian (examining),
pemilihan kategorisasi, evaluasi, membandingkan, melakukan sintesa, dan
merenungkan kembali data (contemplainning
decoded data) yang dilakukan secara sublikal untuk membangun
inferensi-inferensi, menguji kembali inferensi dan kemudian menarik kesimpulan.
(lihat W. Lawrence Neuman, 1997: 427). Dalam istilah Neuman (1997) metode
analisa yang berlangsung secara siblikal yang memberi peluang terus menerus melakukan
pengujian konsep dengan data-data dan bukti secara berulang-ulang untuk
menemukan inferensi dan teori baru
disebut metode successive approsimation. Selain
itu, karena proses pengumpulan data dilakukan dengan menggunalkan beberapa
konsep yang ada sebelumnya tentang partisipasi, maka proses analisis data dilakukan juga
dengan metode ilustratif (illustrative
method) dalam pengertian yang longgar.
c. Penentuan Daerah Penelitian
Penelitian ini akan
dilakukan di Desa
Puwuulo Kec. Laeya Kabupaten Konawe
Selatan
sebagai wakil dari Propinsi Sulawesi Tenggara.
BAB 9. HASIL PENELITIAN
Gambaran umum lokasi penelitian.
Desa Puwuulo merupakan Desa pemekaran dari Desa Labokeo pada tahun 2005.
Sebelumnya desa ini diberi nama Desa Landetallo, akan tetapi pada saat
pembahasan di DPRD Konsel, para anggota Dewan sepakat mengganti nama dari Desa
Landetalo menjadi Desa Puwuulo dengan pertimbangan bahwa, Puwuulo sudah dikenal
namanya sejak dahulu. Secara geografis Desa Puwuulo berbatasan dengan beberapa
desa yakni di sebelah utara berbatasan dengan Desa Anggoroboti, sebelah Barat
berbatasan denga Desa Wawowonua, sebelah timur berbatasan dengan Kali Puwuulo
dan sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Labokeo. Sejak tahun 2005, Desa
Puwuulo dijabat oleh seorang pelaksana Desa selama kurang lebih 5 tahun lamanya
yakni Tamrin, S.Ag yang juga sebagai salah seorang pegawai pada kantor
Kecamatan Laeya. Luas wilayah Desa puwuulo ±1555km².
Pada tanggal 10 Oktober 2010, Desa Puwuulo resmi di defenitifkan dan Pada
tanggal 29 Februari 2012, barulah diadakan pemilihan kepala desa secara
langsung yang pada akhirnya terpilih bapak Juswan sebagai Kepala Desa Puwuulo
defenitif pertama. Desa Puwuulo terdiri dari 4 Dusun yang dihuni sekitar 300
Kepala Keluarga yang terdiri dari 3 etnis yang mayoritas yakni suku Tolaki yang
juga sebagai penduduk asli, suku bugis dan suku makassar. Mayoritas masyarakat
di Desa Puwuulo merupakan petani kebun maupun tambak. Masyarakat Tolaki umumnya
sebagai petani kebun yang menghasilkan berbagai jenis hasil kebun, seperti
cokelat, sayur-mayur, dan sebagainya. Sementara suku bugis Makassar selain berkebun
juga sebagian besar memiliki tambak udang dan ikan.
Dari segi infra struktur, di Desa Puwuulo ini terdapat 2 mesjid yakni 1
mesjid induk yang sementara proses pembangunan dan 1 lainnya merupakan masjid
dusun yang juga masih dalam tahap pembangunan. Sementara sarana perkantoran
juga masih dalam tahap pembangunan yang semuanya merupakan swadaya masyarakat.
Di Desa ini juga terdapat satu sekolah tingkat SD. Sementara jalan masih
pengerasan yang sebelumnya dibangun melalui program PNPM mandiri.
a.
Partisipasi masyarakat dalam penyusunan
APBD.
Anggaran baik anggaran perusahaan, anggaran
negara, anggaran daerah atau anggaran lembaga-lembaga lainnya dapat diartikan
sebagai rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijaksanaan untuk suatu
periode masa yang akan datang. Anggaran bagi sektor publik meliputi anggaran
bagi sebuah negara, suatu daerah otonom atau badan usaha milik negera atau akan
lebih mudah disebut dengan anggaran publik. Makna anggaran publik adalah suatu
kebijakan publik tentang perkiraan pengeluaran dan penerimaan yang diharapkan
akan terjadi dalam suatu periode di masa depan serta data dari pengeluaran dan
penerimaan yang sungguh-sungguh terjadi di masa yang lalu.
Pada mulanya fungsi anggaran publik adalah
pedoman bagi pemerintah dalam mengelola negara atau daerah otonom untuk satu
periode di masa yang akan datang, namun karena sebelum anggaran publik
dijalankan harus mendapatkan persetujuan dari lembaga perwakilan rakyat maka anggaran
publik berfungsi sebagai alat pengawasan masyarakat terhadap kebijakan publik
yang dipilih oleh pemerintah. Selain itu karena pada akhirnya setiap anggaran
publik harus dipertanggunjawabkan pelaksanaannya oleh pemerintah kepada lembaga
perwakilan rakyat, berarti anggaran negara juga berfungsi sebagai alat pengawas
bagi masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan yang
telah dipilihnya.
Dengan melihat fungsi anggaran publik diatas
maka anggaran publik harus dilihat sebagai power relation antara eksekutif,
legislatif dan rakyat sendiri. Bagi rakyat yang harus dilakukan adalah memantau
arah dari prioritas kebijakan yang dibuat pemerintah satu tahun mendatang yang
akan dinyatakan dalam bentuk nominal dalam anggaran. Tujuan pemantauan
prioritas adalah memantau apakah prioritas kebijakan efektif untuk kepentingan
rakyat banyak atau tidak.
Kondisi yang berubah di era otonomi daerah ini
penyusunan anggaran (APBD) menjadi urusan strategis bagi daerah. Pada masa orde
baru otoritas ini dipegang secara sentralistis pada eksekutif yaitu pemerintah
pusat. Sedangkan pemerintah daerah bersama DPRD hanya bertugas mengalokasikan
sebagian kecil dari APBD, sekitar 10% bagi daerah miskin dan sekitar 20% bagi
daerah kaya, yaitu porsi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sekarang ini wewenang
untuk menentukan prioritas kebijakannya yang ditunjukan dalam APBD sepenuhnya
menjadi otoritas daerah.
Bila pada masa orde baru otoritas penyusunan
APBD lebih besar ditangan eksekutif, maka di era otonomi daerah ini otoritas
penyusunan APBD sepenuhnya ditangan DPRD. Perubahan kondisi ini menimbulkan
banyak masalah partisipasi rakyat dalam penyususnannya. Tahapan penyusunan
anggaran adalah tahap penyusunan yang dilakukan oleh eksekutif untuk anggaran
pemerintah daerah dan oleh legislatif untuk anggaran DPRD. Penyusunan ini
memerlukan waktu 6 bulan. Setelah disusun, RAPBD pemerintah daerah disampaikan
oleh kepala daerah kepada DPRD untuk selanjutnya dibahas dan disahkan. Periode
pembahasan dan pengesahan ini memerlukan waktu hingga 3 bulan selanjutnya
setelah disahkan menjadi Peraturan daerah baru APBD resmi berlaku hingga satu
tahun mendatang untuk dipertanggungjawabkan kepada DPRD.
Melalui APBD, pembiayaan penyelenggaraan
otonomi daerah dapat dilakukan. APBD itu sendiri bersumber dari rakyat melaui
berbagai jenis penerimaan daerah baik melaui pajak, retribusi, dana transfer,
bagi hasil dan sebagainya. Oleh karena APBD bersumber dari rakyat, sehingga
penting bagaimana keterlibatan rakyat dalam penyusunannya? Keterlibatan rakyat
atau partisipasi rakyat sangat penting dalam penyusunan APBD baik sejak
perencanaan, pembahasan maupun terhadap pengawasannya.
Sebelum membahas tentang bagaimana partisipasi
masyarakat dalam penyusunan APBD, peneliti terlebih dahulu memberikan gambaran
hasil penelitian tentang pengetahuan masyarakat Desa Puwuulo tentang APBD itu
sendiri melaui penyebaran kusioner sebanyak 100 responden yang didalamnya terdapat pertanyaan terbuka
terkait pemahaman responden tentang APBD sebagaimana tabel berikut :
Tabel 1
Gambaran
pemahaman responden terhadap APBD
No
|
Tanggapan responden terhadap pemahaman APBD
|
Jumlah
|
Persentase
|
1
|
§ APBD itu merupakan pedoman pengelolaan keuangan daerah,
§ APBD bersumber dari rakyat
§ APBD merupakan peraturan tentang penerimaan dan pengeluaran anggaran bagi
pemerintah daerah
|
82
|
82 %
|
2
|
§ Tidak tahu
|
18
|
18%
|
Jumlah
|
100
|
100%
|
Sumber
data : diolah dari kuisioner, April 2012
Dari tabel 1 tersebut, deperoleh gambaran bahwa
pada umumnya masyarakat Desa Puwuulo sudah mengetahui tentang APBD yakni dari
100 responden, 82 diantaranya atau sekitar 82% masyarakat Desa Puwuulo sudah
paham tentang APBD. Dari 82 responden telah memberikan jawaban yang oleh
peneliti menyimpulkan pada tiga jawaban secara umum yakni; bahwa APBD merupakan
pedoman pengelolaan keungan daerah, APBD bersumber dari rakyat dan APBD merupakan
peraturan tentang penerimaan dan pengeluaran anggaran bagi pemerintah daerah.
Sementara 18 orang responden lainnya atau sekitar 18% responden belum
mengetahui sama sekali tentang APBD. Dengan demikian, pemahaman masyarakat Desa
Puwuulo terkait APBD sudah cukup tinggi.
Kebijakan dalam APBD harus dapat berpihak pada
rakyat. Indikator keberpihakan APBD terhadap rakyat paling tidak meliputi :
APBD harus disusun berdasarkan skala prioritas, terukur, tepat sasaran dan
dapat dipertanggung jawabkan. Bagaimana menentukan skala prioritas, terukur
atau proporsional, tepat sasaran dan bertanggung jawab dalam penyusunan APBD?
Tentunya untuk mewujudkan indicator tersebut dapat dilakukan melaui partisipasi
rakyat. Untuk memperoleh gambaran keterlibatan masyarakat khususnya Desa
Puwuulo Kec. Laeya Kab. Konsel dalam penyusunan APBD digambarkan pada Tabel 2 sebagai
berikut :
Tabel 2
Tanggapan
responden tentang keterlibatan dalam penyusunan APBD
No
|
Tanggapan responden tentang keterlibatan dalam penyusunan APBD
|
Jumlah
|
Persentase
|
1
|
Pernah terlibat melalui musrembang
|
37
|
37 %
|
2
|
Tidak Pernah terlibat
|
13
|
13%
|
3
|
Tidak terlibat karena tidak tahu bagaimana
cara masyarakat untuk berpartisipasi
|
44
|
44%
|
4
|
Tidak menjawab
|
6
|
6%
|
Jumlah
|
100
|
100%
|
Sumber
data : diolah dari kuisioner, April 2012
Dari tabel 2 tersebut diatas, diperoleh
gambaran bahwa hanya sebagian kecil saja dari seratus orang responden yang
pernah terlibat dalam penyusunan APBD yakni sebanyak 37 orang responden.
Keterlibatan masyarakat ini hanya sebatas pada musrembang tingkat desa.
Musrembang tingkat desa ini bertujuan untuk menjaring aspirasi dari rakyat
khususnya dari masing-masing desa. Hasil musrembang tingkat desa ini kemudian
ditindak lanjuti melalui musrembang tingkat kecamatan, kemudian dibahas kembali
pada musrembang tingkat kabupaten. Hasil musrembang inilah yang diterjemahkan
oleh masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk mebuat Rencana
Kerja Anggaran (RKA) untuk satu tahun anggaran berikutnya. Dari RKA inilah yang
dijadikan dasar oleh pemerintah untuk menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (RAPBD) yang selanjutnya akan dibahas bersama di DPRD untuk
mendapatkan persetujuan.
Mekanisme penyusunan APBD tersebut justru
partisipasi masyarakat bisa menjadi tidak ada artinya. Karena usulan
pembangunan yang diusulkan masyarakat melaui musrembang tingkat desa, sangat
mungkin tidak dapat terealisasi. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh
Kepala Desa Puwuulo, Juswan (Wawancara, 24 April 2012) bahwa :
Usulan pembangunan
dari masyarakat melalui Musrembang tingkat desa misalnya pembangunan jalan,
pembangunan kantor desa, posyandu dan sebagainya, belum tentu dapat direalisasikan
pemerintah. Karena usulan dari masing-masing desa tadi, dibahas kembali pada
tingkat musrembang kecamatan. Sehingga pada tingkat kecamatan saja sudah
memungkinkan usulan dari beberapa desa dihilangkan meskipun usulan dari desa
itu benar-benar dibutuhkan. Belum lagi kalau dibahas pada tingkat kabupaten,
perjuangannya lebih ketat lagi. Paling tidak harus ada hubungan kedekatan
dengan para pihak yang menentukan kebijakan di kantor daerah.
Dari hasil wawancara tersebut terungkap bahwa,
sesungguhnya partisipasi masyarakat hanya sebatas pada perencanaan saja yakni
pada musrembang tingkat desa. Hasil musrembang tingkat desa tersebut, tidak ada
jaminan akan mendapatkan prioritas pembangunan melalui APBD karena mekanismenya
harus dibahas kembali pada musrembang tingkat kecamatan dan kabupaten.
Lebih lanjut Juswan (Wawancara, tanggal 24
April 2012) mengungkapkan bahwa :
Sudah seperti itu
mekanismenya. Walaupun usulan dari masyarakat tadi lolos dalam pembahasan pada
musrembang tingkat kabupaten untuk diusulkan dalam RAPBD, akan tetapi masih ada
lagi mekanisme lain yang harus diwaspadai lagi. Yakni, pada saat proses
pembahasan di DPRD. Pada saat pembahasan di DPRD bisa usulan dari desa kami
tidak disetujui oleh dewan. Belum lagi ada masa reses yang dilakukan oleh
anggota dewan yakni kunjungan langsung ke lapangan. Disini anggota dewan bisa
bermain, melalui lokasi kunjungan kerjanya hanya pada daerah pemelihannya saja.
Sehingga dengan cara ini bisa terjadi diskriminasi, yakni desa yang menjadi
basis politik dari anggota dewan tertentu saja yang dapat tersentuh
pembangunan. Buktinya, kami ini merupakan desa pemekaran yang sudah 6 tahun defenitif,
tapi kami belum dialokasikan anggaran pembangunan untuk kantor desa maupun
gedung fasilitas umum lainnya. Daripada menunggu lama dari pemerintah, kami
bangun kator desa dan mesjid desa itu dengan menggunakan swadaya masyarakat.
Dengan demikian, musrembang yang dilakukan oleh
masyarakat mulai pada musrembang tingkat desa, kecamatan dan kabupaten, justru
tidak efektif untuk menjaring partisipasi masyarakat dalam penyusunan APBD.
Karena ternyata, mekanisme panjang yang dialui masyarakat dapat dengan mudah
tereliminasi melalui mekanisme yang dimiliki oleh anggota DPRD yakni pada saat
pembahasan dan pada saat anggota dewan melakukan masa reses.
Selain 37 responden pada tabel 2 tersebut
diatas yang sudah pernah terlibat dalam penyusunan APBD, juga terdapat sekitar
13 responden atau setara dengan 13% responden yang tidak pernah terlibat sama
sekali dalam penyusunan APBD. Sementara 44 responden lainnya atau sekitar 44%
responden lainnya tidak pernah terlibat dalam penyusunan APBD karena tidak tahu
dimana dan bagaimana cara mereka untuk berpatisipasi. Hal tersebut sejalan
dengan apa yang diungkapkan oleh salah seorang tokoh masyarakat H. Soe (wawancara, tanggal 26 April
2012) bahwa :
Saya kira APBD itu,
pemerintah yang susun. Kita ini sebagaia masyarakat biasa tidak mengetahui
kalau kami perlu terlibat. Lagi pula kami tidak pernah dilibatkan atau diundang
untuk menghadiri acara penyusunan APBD itu. Meskipun juga diundang, tidak bisa
juga kami bicara, kami ini tidak pernah sekolah. Tapi meskipun kami tidak terlibat,
seharusnya pemerintahlah yang harus memahami kodisi rakyatnya apa yang
dibutuhkan. Jadi pemerintahlah yang harus turun ke lapangan sehingga mereka
tahu apa masalah kami tanpa harus dikasi tahu. Sama seperti anggota dewan,
kalau mereka tidak meperhatikan kami maka jangan harap kami akan pilih kembali
kalau mereka mencalonkan kembali menjadi anggota dewan.
Dari hasil wawancara peneliti dengan responden
tersebut, terungkap bahwa pada umumnya masyarakat tidak berpartisipasi dalam
penyusunan APBD karena pada umumnya mereka tidak tahu dimana dan dengan cara bagaimana
mereka berpartisipasi. Selain itu, kendala masyarakat utuk tidak berpartisipasi
adalah pada umumnya mereka tidak pernah menyelesaikan pendidikan formal
sehingga enggan untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan seremonial pemerintah.
Akan tetapi, harapan masyarakat adalah meskipun mereka tidak terlibat sama
sekali, mereka berharap kepada pemerintah maupun anggota dewan turun ke
lapangan untuk melihat kondsi masyarakat agar dapat memahami apa yang menjadi kebutuhan
dasar masyarakat. Masyarakat berharap pemerintah lebih peka terhadap rasa
keadilan dalam masyarakat.
Dengan
demikian, partisipasi masyarakat dalam penyusunan APBD ada tiga tahap yakni
tahap perencanaan, pembahasan dan pengawasan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam penyusunan
APBD khususnya pada tahap perencanaan sangat rendah yakni hanya sekitar 37%
saja dari seratus responden. Partisipasi masyarakat inipun hanya terbatas pada
proses perencanaan paling bawah yakni musrembang tingkat desa saja. Sementara
musrembang tingkat kecamatan maupun kabupaten tidak pernah terlibat sama
sekali. Sementara partisipasi pada saat pembahasan APBD masyarakat tidak pernah
terlibat sama sekali termasuk partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan
terhadap APBD juga tidak pernah terlibat secara langsung.
BAB 10. PENUTUP
a. Kesimpulan
Dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa partisipasi masyarakat dalam penyusunan APBD ada tiga tahap yakni tahap
perencanaan, pembahasan dan pengawasan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam
penyusunan APBD khususnya pada tahap perencanaan sangat rendah yakni hanya
sekitar 37% saja dari seratus responden. Partisipasi masyarakat inipun hanya
terbatas pada proses perencanaan paling bawah yakni musrembang tingkat desa
saja. Sementara musrembang tingkat kecamatan maupun kabupaten tidak pernah terlibat
sama sekali. Sementara partisipasi pada saat pembahasan APBD masyarakat tidak
pernah terlibat sama sekali termasuk partisipasi masyarakat dalam melakukan
pengawasan terhadap APBD juga tidak pernah terlibat secara langsung.
b. Saran
1. Kepada pemerintah, seharusnya
lebih membuka ruang partisipasi kepada masyarakat untuk terlibat dalam segala
proses penyusunan APBD agar APBD kedepan dapat berpihak kepada rakyat.
2. Kepada masyarakat khususnya Desa
Puwuulo, lebih pro aktif dalam kegiatan pemerintahan khususnya kritis terhadap
kebijakan anggaran melalui pelibatan diri mulai sejak perencanaan, pembahasan
dan juga turut serta mengawasi realisasi APBD agar tepat sasaran.
DAFTAR PUSTAKA
A.
BUKU
Aswanto, Tata Tertib DPRD untuk Parlemen Yang Amanah.
Kopel Sulawesi, 2007
Alimsyah,
Syamsuddin, 2001. Panduan Memantau APBD. Kopel Sulawesi
Ruslan, Achmad. 2005. Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan dan Kualitas Produk Hukumnya yang Berkualitas, (Makassar : Disertasi
Universitas Hasanuddin)
Rustan, Ahmad,
2011. Analisis Putusan MK Nomor : 17/PUU-VI/2008
tentang Pemilihan Kepala Daerah, (Tesis Universitas Muhammadiyah
Jakarta)
Gunawan, Bondan. 2000. Apa Itu Demokrasi, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan),
Husain, Wahyuddin dan H.Hufron, 2008. Hukum,
Politik dan
Kepentingan, (Yogyakarta : Laks Bang PRESSindo),
Noer, Deliar, 1983. Pengantar ke Pemikiran
Politik, (Jakarta : CV. Rajawali)
Abdillah, Pius dan Prasetya, Danu.
tt. Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya : Arkola).
Surbakti, Ramlan 1992. Memahami Ilmu Politik. (Jakarta
: Grasindo).
B.
JURNAL
Arifai. Strategi
Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Hukum LEGITIME
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari Volume I No. 1 Edisi Februari
2011
New Letter KOPEL,
Edisi November 2005
Rachman, Irfan Nur. Penguatan Fungsi Pengawasan Legislatif Terhadap Eksekutif Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi Volume 8 Nomor 2, April 2011
diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi
Sose, Andi Jaya. Pemerataan
Antar Daerah dan Peningkatan Efesiensi : Telaah UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU
nomor 25 Tahun 1999. Jurnal Clavia Fakultas Hukum Universitas 45 Makassar
Volume 4, Nomor 2 Juli 2003
Sampara, Said. Pemerintahan
yang Bersih dan Good Governence. Jurnal Hukum ISLAH Fakultas Hukum
Universitas Muslim Indonesia Makassar.
[2] Syamsuddin Alimsyah, Panduan Memantau APBD. Kopel Sulawesi
[3] Irfan Nur Rachman, Penguatan Fungsi Pengawasan Legislatif
Terhadap Eksekutif Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi
Volume 8 Nomor 2, April 2011 diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi, hlm.76
[4] Dikutip dari New Letter KOPEL, Edisi November 2005
[5] Andi Jaya Sose, Pemerataan Antar Daerah dan Peningkatan
Efesiensi : Telaah UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU nomor 25 Tahun 1999. Jurnal
Clavia Fakultas Hukum Universitas 45 Makassar Volume 4, Nomor 2 Juli 2003,
hlm.156
[6] Said Sampara, Pemerintahan yang Bersih dan Good
Governence. Jurnal Hukum ISLAH Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia
Makassar, hlm.100
[7] Arifai, Strategi Pemberantasan dan Pencegahan Tindak
Pidana Korupsi. Jurnal Hukum LEGITIME Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Kendari Volume I No. 1 Edisi Februari 2011, hlm.140
[9] Juanda, dalam Ahmad Rustan, Analisis Putusan MK Nomor : 17/PUU-VI/2008
tentang Pemilihan Kepala Daerah,
(Tesis
Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2011). hlm. 75
[11] Joko J
Prihatmoko, Pemilu 2004 dan Konsolidasi
Demokrasi, (Semarang : LP2I press, 2003), hlm. 183.
[14] HM.Wahyuddin
Husain dan H.Hufron, Hukum, Politik &
Kepentingan, (Yogyakarta : Laks Bang PRESSindo, 2008), hlm. 109
[15] Achmad Ruslan,
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
dan Kualitas Produk Hukumnya yang Berkualitas, (Makassar : Disertasi
Universitas Hasanuddin, 2005), hlm. 128
[16] Lihat
penjelasan Pasal 53 UU Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[17] Pius
Abdillah & Danu Prasetya, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya :
Arkola, tt). hlm. 591
[18] Aswanto, Tata Tertib DPRD untuk Parlemen Yang Amanah.
Kopel Sulawesi, 2007, hlm.13
Posting Komentar