Kepatuhan Pemerintah Kecamatan Baruga Terhadap Pemenuhan Komponen Standar Pelayanan Publik Sesuai UU RI No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publikp

|| || || Leave a komentar

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.           Latar Belakang Masalah.
Sesungguhnya setiap manusia membutuhkan pelayanan dan sebaliknya juga setiap manusia adalah pelayan. Apa yang dikerjakan oleh manusia, sebahagian besar untuk melayani kebutuhan manusia lainnya. Untuk itu, pelayanan tidak akan pernah terlepaskan dari kehidupan manusia. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka dibutuhkan peran Negara untuk menfasilitasi pelayanan terhadap warga Negara. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan tujuan bernegara serta hakekat bernegara adalah mewujudkan kesejahteraan rakyat.  Tugas konstitusional untuk  mewujudkan tujuan bernegara diamanahkan kepada penyelenggara negara pada semua level.  Karenanya kehadiran penyelenggara negara hanya semata-mata untuk dan salah satunya adalah memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Dengan kata lain seluruh kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang banyak itu harus atau perlu adanya suatu pelayanan yang efisien dan efektif.
Penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah itu masih dihadapkan pada sistem pemerintahan yang belum efisien dan efektif  serta kualitas sumber daya manusia aparatur yang belum memadai. Hal ini terlihat dari masih banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat baik secara Iangsung maupun melalui media massa. Pelayanan publik perlu dilihat sebagai usaha pemenuhan kebutuhan dan hak-hak dasar masyarakat. Dalam hal ini penyelenggaraan pelayanan publik tidak hanya yang di selenggarakan oleh pemerintah semata tetapi juga oleh penyelenggara swasta.
Pada saat ini persoalan yang dihadapi begitu mendesak, masyarakat mulai tidak sabar atau mulai cemas dengan mutu pelayanan aparatur pemerintahan yang pada umumnya semakin merosot atau memburuk. Pelayanan publik oleh pemerintah lebih buruk dibandingkan dengan pelayanan yang diberikan oleh sektor swasta, masyarakat mulai mempertanyakan apakah pemerintah mampu menyelenggarakan pemerintahan dan atau memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat.
Sudah sepatutnya pemerintah mereformasi paradigma pelayanan publik tersebut. Reformasi paradigma pelayanan publik ini adalah penggeseran pola penyelenggaraan pelayanan publik dari yang semula berorientasi pemerintah sebagai penyedia menjadi pelayanan yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat sebagai pengguna. Dengan begitu, tak ada pintu masuk alternatif untuk memulai perbaikan pelayanan publik selain sesegera mungkin mendengarkan suara publik itu sendiri. Inilah yang akan menjadi jalan bagi peningkatan partisipasi masyarakat di bidang pelayanan publik.
Pelayanan publik yang buruk di Indonesia selama ini telah menjadi rahasia umum bagi setiap masyarakat sebagai penerima layanan, ungkapan ini tidaklah berlebihan ketika melihat fakta bahwa hak sipil warga sering dilanggar dalam proses pengurusan berbagai layanan seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), serta izin-izin lainnya. Pembuatan KTP yang seharusnya mudah, dipersulit dengan banyaknya meja dan rangkaian prosedur yang harus dilalui. Keluhan-keluhan seperti inilah yang sering muncul dari masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik termasuk didalamnya rendahnya kualitas penyelenggaraan pelayanan publik.
Pelayanan publik masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk diakses, prosedur yang berbelit-belit ketika harus mengurus suatu perijinan tertentu, biaya yang tidak jelas serta terjadinya praktek pungutan liar (pungli), merupakan indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Bahwa penelitian mengenai kepatuhan dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik telah dilaksanakan oleh Ombudsman RI pada bulan Maret sampai dengan Mei 2013 dengan objek penelitian 21 Unit Layanan yang menyelenggarakan pelayanan publik di Kota Kendari, menunjukkan bahwa 16 Unit Pelayanan diantaranya masuk dalam zona merah (buruk), 4 Unit Layanan yang masuk kategori zona kuning (sedang)  dan hanya 1 unit layanan yang masuk  zona hijau (baik). Hasil survey ini menujukkan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik masih sangat rendah. Hal inilah yang mendasari pengusul untuk mengajukan proposal penelitian dengan judul : “Kepatuhan Pemerintah Kecamatan Baruga Kota Kendari dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik”.
1.2.    Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu Bagaiamanakah kepatuhan Pemerintah Kecamatan Baruga Kota Kendari dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik?
1.3.     Target Luaran Yang Ingin Dicapai
1.      Diharapkan dapat menjadi bahan ajar khususnya pada mata kuliah Hukum Administrasi Negara.
2.      Menghasilkan artikel yang dapat dimuat dalam Jurnal Ilmiah Hukum.
3.      Dapat memberikan masukan kepada pihak-pihak pengambil kebijakan khususnya Pemerintah Kecamatan Baruga Kota Kendari agar meningkatkan kualitas penyelenggaraan pelayanan publik.


BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.          Konsep Kepatuhan.
Masyarakat mematuhi hukum dapat dilihat dengan beberapa teori pendekatan anatara lain[1] :
a.       Teori kedaulatan Tuhan (teokrasi).
“…..segala hukum adalah Hukum Ketuhanan. Tuhan sendirilah yang menetapkan hukum, dan perintah-perintah duniawi adalah pesuruh-pesuruh kehendak Ketuhanan. Hukum dianggap sebagaikehendak atau kemauan Tuhan. Manusiasebagai salah satu ciptaa-Nya wajib taat pada hukum Ketuhanan ini.
b.      Teori perjanjian masyarakat.
Teori ini dipolopori oleh Hugo de Groot, Thomas Hobbes, John Locke, Jean Jacques Rousseau dan Immanuel Kant. Pada pokoknya teori ini berpendapat bahwa orang taat dan tunduk pada hukum karena berjanji menaatinya. Hukum dianggap sebagai kehendak bersama, suatu hasil consensus (perjanjian) dari segenap anggota masyarakat.
c.       Teori kedaulatan Negara.
Pada intinya teori ini berpendapat bahwa ditaatinya hukum karena Negara menghendakinya. Hans Kelsen dalam bukunya “Hauptprobleme der Staatslehre” (1811), “Das Problem der Souveranitat und die Theorie des Volkerechts” (1920), “Allgemeine Staatslehre” (1925) dan “Reine Rechtslehre” (1934) menganggap bahwa hukum itu merupakan “Wille des Staates”. Orang tunduk pada hukum karena merasa wajib menaatinya karena hukum itu adalah kehendak Negara.
d.      Teori kedaulatan hukum.
Hukum mengikat bukan karena Negara menghendakinya, melainkan karena merupakan perumusan dari kesadaran hukum rakyat. Berlakunya hukum itu karena niali batinnya, yaitu menjelma di dalam hukum itu. Pendapat ini diutarakan oleh Prof. Mr. H. Krabbe dalam bukunya “Die Lehre der Rechtssouveranitat” (1906). Selanjunya, beliau berpendapat bahwa kesadaran hukum yang dimaksud berpangkal pada perasaan hukum setiap individu, yaitu perasaan bagaimana seharusnya hukum itu.

Seperti apa yang sering dikatakan oleh banyak orang bahwa kesadaran hukum merupakan salah satu faktor penentu dari kepatuhan hukum, sehingga dalam mebicarakan mengenai kepatuhan hukum harus dimulai terlebih dahulu dari masalah kesadaran hukum.
Soerjono Soekanto[2] berpendapat bahwa kesadaran hukum merupakan nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Jadi pada dasarnya setiap manusia mempunyai rasa keadilan, dan asas kesadaran hukum ada di dalam diri setiap manusia.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa kesadaran hukum yang tinggi menyebabkan warga masyarakat mematuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku. Sebaliknya apabila kesadaran hukum sangat rendah maka derajat kepatuhan terhadap hukum juga rendah[3]. Indikator-indikator kesadaran hukum menurut B. Kutschincky adalah :
1.      Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum (law  awareness);
2.      Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum (law  acquaintance);
3.      Sikap terhadap peraturan-peraturan hukum (legal attitude);
4.      Pola-pola perilaku hukum (law behavior).
Indikator tersebut di atas menunjukkan pada tingkat kesadaran hukum tertentu mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi.
Apabila indikator–indikator kesadaran hukum, yaitu pengetahuan tentang hukum, pengetahuan tentang isi hukum, sikap terhadap hukum serta pola perilaku hukum dihubungkan dengan kepatuhan hukum, maka akan diperoleh pengertian sebagai berikut:
1.      Pengetahuan tentang peraturan hukum tidak mempengaruhi kepatuhan terhadap peraturan;
2.      Pengetahuan tentang isi peraturan hukum sangat mempengaruhi sikap terhadap suatu peraturan, akan tetapi sukar untuk menetapkan secara pasti derajat kepatuhan macam apakah yang dicapai dengan pengetahuan tersebut;
3.      Sikap terhadap peraturan cenderung mempengaruhi taraf kepatuhan hukum;
4.      Pola perilaku hukum sangat mempengaruhi kepatuhan hukum, yang mana perilaku yang sesuai dengan hukum merupakan salah satu ciri atau kriteria akan adanya kepatuhan atau ketaatan hukum yang cukup tinggi.
Dengan demikian maka dapat ditarik kesimpulan bahwa indikator perilaku hukum merupakan petunjuk akan adanya taraf kepatuhan hukum yang tinggi, derajat mana dapat memperlihatkan tinggi rendahnya kesadaran hukum.
2.2.          Pengertian Pelayanan Publik.
Pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan oleh pemerintah sebagai penyelenggara Negara terhadap masyarakatnya guna memenuhi kebutuhan masyarakat itu sendiri dan memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelayanan Pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor Nomor 25 Tahun 2009 didefinisikan sebagai “ adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundangundangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik”.
Selanjutnya yang dimaksud penyelenggara pelayanan publik adalah terbatas pada pelayanan publik yang menggunakan anggaran negara atau yang melalui suatu ketentuan perundangan ditugaskan kepada lembaga, korporasi untuk menyelenggarakan pelayanan publik dimaksud. Pengaturan di dalam Undang-Undang dimaksud meliputi : Penetapan menteri, lembaga yang bertanggung jawab atas pelayanan publik disertai tugas-tugasnya. Pelayanan publik merupakan sarana pemenuhan kebutuhan mendasar masyarakat untuk kesejahteraan sosial. Sehingga perlu memperhatikan nilai-nilai, sistem kepercayaan, religi, kearifan lokal serta keterlibatan masyarakat. Perhatian terhadap beberapa aspek ini memberikan jaminan bahwa pelayanan publik yang dilaksanakan merupakan ekspresi kebutuhan sosial masyarakat. Dalam konteks itu, ada jaminan bahwa pelayanan publik yang diberikan akan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, masyarakat akan merasa memiliki pelayanan publik tersebut sehingga pelaksanaannya diterima dan didukung penuh oleh masyarakat.
Ruang lingkup pelayanan publik sebagaimana ketentuan dalam Pasal 5 UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan barang publik adalah segala pengadaan dan penyaluran barang publik yang dikelola oleh instansi pemerintah atau suatu badang yang sumber pembiayayaanya menggunakan sebahagian atau seluruhnya dari APBN atau APBD. Jasa publik adalah penyediaan jasa publik oleh instansi pemerintah atau suatu badang seperti jasa kesehatan, jasa transportasi, jasa telekomunikasi dan sebagainya yang sumber pembiayayaanya menggunakan sebahagian atau seluruhnya dari APBN atau APBD. Sementara Jasa administratif maksudnya adalah tindakan administratif pemerintah merupakan pelayanan pemberian dokumen seperti aktakelahiran, dokumen kependudukan, perizinan, akta nikah dan sebagainya.
Citra layanan publik di Indonesia, dari dahulu hingga kini, lebih dominan sisi gelapnya ketimbang sisi terangnya, selain mekanisme birokrasi yang bertele-tele ditambah dengan petugas birokrasi yang tidak profesional. Sudah tidak asing jika pelayanan publik di Indonesia dicitrakan sebagai salah satu sumber korupsi dan sangat beralasan apabila World Bank, dalam World Development Report 2004, memberikan stigma bahwa pelayanan publik di Indonesia sulit diakses oleh orang miskin, dan menjadi pemicu ekonomi biaya tinggi (high cost economy) yang pada akhirnya membebani kinerja ekonomi makro, alias membebani publik (masyarakat). Jadi sangat dibutuhkan peningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik serta memberi perlindungan bagi warga negara dari penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah. Secara konstitusional, juga merupakan kewajiban negara melayani warga negaranya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka pelayanan publik[4].
Menurut Muh. Jurfi Dewa[5] bahwa Pelayanan menjadi buruk karena selama ini rakyat selalu diposisikan untuk melayani pemerintah. Sehingga pelayanan yang diberikan oleh pemerintah seolah menjadi hak, bukan kewajiban. Inilah paradigma yang keliru dalam penyelenggaraan pelayanan public. Untuk itu, diperlukan suatu perubahan paradigma dalam bidang pelayanan publik dengan mengembalikan dan mendudukkan pelayan dan yang dilayani pada posisi yang sesunguhnya.
Menurut Agus Dwiyanto,[6] bahwa pelayanan publik selama ini telah menjadi ranah di mana Negara yang diwakili oleh pemerintah berinteraksi langsung dengan pihak non-pemerintah. Dalam ranah ini telah terjadi pergumulan yang sangat intensif antara pemerintah dengan warga, baik buruknya dalam pelayanan publik sangat dirasakan oleh masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan, jika terjadi perubahan signifikan dalam pelayanan publik dengan sendirinya manfaat dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Keberhasilan dalam mewujudkan praktik pemerintahan yang baik (good governance) dalam pelayanan publik mampu membangkitkan dukungan dan kepercayaan masyarakat. Olehnya itu, pemerintah dituntut untuk kreatif, inovatif dan cerdas dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Dalam rangka pemenuhan pelayanan publik, sesuai dengan ketentuan dalam  Pasal 21 UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, ada 14 komponen standar pelayanan yang harus dipenuhi oleh penyelenggara layanan publik yaitu :
1.      Dasar hukum;
2.      Persyaratan;
3.      System, mekanisme dan prosedur;
4.      Jangka waktu penyelesaian;
5.      Biaya / tarif;
6.      Produk pelayanan;
7.      Sarana, paasarana, dan / atau fasilitas;
8.      Kompetensi pelaksana;
9.      Pengawasan internal;
10.  Penanganan pengaduan, saran dan masukan;
11.  Jumlah pelaksana;
12.  Jaminan pelayanan yang meberikan kepastian pelayanan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan;
13.  Jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko keragu-raguan;
14.  Evaluasi dan kinerja pelaksana.

Selain 14 komponen standar layanan, penyelenggara pelayanan  publik juga berkewajiban menyusun maklumat layanan sebagaiman ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1)  UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, bahwa : ”penyelenggara berkewajiban menyusun dan menetapkan maklumat pelayanan yang merupkan pernyataan kesanggupan penyelenggara dalam melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21”.
Pentingnya komponen standar layanan ini dalam ranka untuk mencegah tejadinya maladministrasi. Yang dimaksud dengan maladministrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia adalah prilaku atau perbuatan melawan hukum, melampau wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan dai wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelengaraan pelayana publik yang dilakukan oleh penyelengara Negara dan pemerintahan yang menimbulakan kerugian materiil dan / atau immaterial bagi masyarakat dan orang perseorangan. Untuk itu, pencegahan terjadinya maladministrasi menjadi penting karena maladministrasi menjadi entry point menuju korupsi, terjadinya korupsi karena diawali dengan terjadinya maladministrasi
2.3.          Konsep Pemerintahan yang baik Good Governance).
Dalam penyelenggaraan pemerintahan telah terjadi pergeseran paradigma dari rule government menjadi good governance, dalam paradigma dari rule government penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik senantiasa menyandarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) tidak hanya terbatas pada penggunaan peraturan perundang-undangan yang berlaku, melainkan dikembangkan dengan menerapkan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang tidak hanya melibatkan pemerintah atau negara semata tetapi harus melibatkan intern birokrasi maupun ekstern birokrasi. Citra buruk yang melekat dalam tubuh birokrasi dikarenakan sistem ini telah dianggap sebagai tujuan bukan lagi sekadar alat untuk mempermudah jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Kenyataannya, birokrasi telah lama menjadi bagian penting dalam proses penyelenggaraan pemerintahan negara.
Siswanto Sunarno[7] mengemukakan bahwa Sistem kepemerintahan yang baik adalah peran serta masyarakat yang menuntut kreatifitas masyarakat baik pengusaha, perencana, pengusaha jasa, pengembang, dalam menyususn konsep strategi pembangunan daerah, dimana peran pemerintah hanya terbatas pada  memfasilitasi dan memediasi. Partisipasi, mensyaratkan semua institusi governance memiliki suara dalam pembuatan keputusan, hal ini merupakan landasan legitimasi dalam sistem demokrasi, good governance memiliki kerangka pemikiran yang sejalan dengan demokrasi dimana pemerintahan dijalankan sepenuhnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemerintah yang demokratis tentu akan mengutamakan kepentingan rakyat, sehingga dalam pemerintahan yang demokratis tersebut penyediaan kebutuhan dan pelayanan publik merupakan hal yang paling diutamakan dan merupakan ciri utama dari good governance.
Menurut Agus Dwiyanto, bahwa karakteristik dan nilai yang melekat dalam praktik goodgovernance adalah[8] :
1.      Praktik goodgovernance  harus member ruang kepada actor lembaga non pemerintah untuk berperan serta secar optimal dalam kegiatan pemerintah sehingga memungkinkan adanya sinergi diantara kator dan lembaga pemerintah dengan non-pemerintah seperti masyarakat sipil dan mekanisme pasar.
2.      Dalam praktik goodgovernance terkandung nilai-nilai yang membuat pemerintah dapat lebih efektif bekerja untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Nilai-nilai seperti efesiensi, keadilan, dan daya tanggap menjadi nilai penting.
3.      Praktik goodgovernance adalah praktik yang bresih dan bebas dari paraktik KKN serta berorientasi pada kepentingan publik.
Salah satu fungsi penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah adalah pelayanan publik. Peraturan perundangan Indonesia telah memberikan landasan untuk penyelenggaraan pelayanan publik yang berdasarkan atas Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB). Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme menyebutkan asas-asas tersebut, yaitu Asas Kepastian Hukum, Asasa Tertib Penyelenggaraan Negara, Asas kepentingan umum, Asas keterbukaan, Asas proporsionalitas, Asas profesionalitas dan Asas Akuntabilitas. Asas ini dijadikan sebagai dasar penilaian dalam peradilan dan upaya administrasi, disamping sebagai norma hukum tidak tertulis bagi tindakan pemerintahan. Meskipun merupakan asas, tidak semuanya merupakan pemikiran yang umum dan abstrak, dan dalam beberapa hal muncul sebagai aturan hukum yang konkret atau tertuang secara tersurat dalam pasal undang-undang serta mempunyai sanksi tertentu.
Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) ini menjadi landasan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Asas ini merupakan jembatan antara norma hukum dan norma etika yang merupakan norma tidak tertulis, Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) merupakan suatu bagian yang pokok bagi pelaksanaan atau realisasi Hukum Tata Pemerintahan atau Administrasi Negara dan merupakan suatu bagian yang penting sekali bagi perwujudan pemerintahan negara dalam arti luas. Asas ini digunakan oleh para aparatur penyelenggaraan kekuasaan negara dalam menentukan perumusan kebijakan publik pada umumnya serta pengambilan keputusan pada khususnya, jadi Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) ini diterapkan secara tidak langsung sebagai salah satu dasar penilaian[9].
Asas ini merupakan kaidah hukum tidak tertulis sebagai pencerminan norma-norma etis berpemerintahan yang wajib diperhatikan dan dipatuhi, disamping mendasarkan pada kaidah-kaidah hukum tertulis. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa beberapa asas diantaranya dapat disisipkan dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tolok ukur bagi hakim dalam hal mengadili perkara gugatan terhadap pemerintah mengenai perbuatan melawan hukum oleh penguasa. Asas ini juga dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang dijadikan sebagai dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang layak, yang dengan cara demikian penyelenggaran pemerintahan itu menjadi lebih baik, sopan, adil, terhormat, bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan, tindakan penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang.
Asas-asas pemerintahan atau administrasi yang baik ini digunakan untuk mencegah penyalahgunaan jabatan dan wewenang dan juga untuk mencapai dan memelihara adanya pemerintahan dan admnistrasi yang baik, yang bersih (behoorlijk besturr)[10].


BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT
3.1.            Tujuan Penelitian.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kepatuhan hukum Pemerintah Kecamatan Baruga Kota Kendari dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
3.2.            Manfaat Penelitian.
a.       Manfaat akademis.
Secara akademis, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan referensi untuk penelitian selanjutnya dan dapat menjadi bahan ajar untuk 1 (satu) BAB pada mata kuliah Hukum Administrasi Negara khususnya terkait dengan materi Pelayanan Publik.
b.      Manfaat praktis.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi bagi Pemerintah Kota Kendari khususnya pada pemerintah Kecamatan Baruga terkait pemenuhan dan kepatuhan hukum terhadap Komponen Standar Pelayanan Publik sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan bagi masyarakat dapat lebih meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap penyelenggraan pelayanan publik.


BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1.           Tipe Penelitian.
Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian ini juga lebih popular disebut sebagai penelitian hukum doktrinal.  Penelitian ini dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam ketentuan peraturan perundang-undangan (law in book) atau hukum yang dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku masyarakat terhadap apa yang dianggap pantas dikaitkan dengan apa yang ada dalam tindakan (law in action)[11].
Pada penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani[12]. Untuk menganilis masalah pada penelitian ini, penulis menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat outoritatif, atau mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Adapun bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan[13].
Bahan-bahan non hukum dapat berupa buku-buku mengenai ilmu politik, ekonomi, sosiologi, filsafat, kebudayaan ataupun laporan-laporan penelitian non hukum dan jurnal-jurnal non hukum sepanjang relevan dengan topic penelitian. Bahan-bahan non hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan peneliti[14].

4.2.           Lokasi Penelitian.
Untuk melakukan suatu penelitian diperlukan wilayah tertentu sebagai lokasi penelitian. Dalam penelitian ini dilakukan di Kantor Camat Baruga                             Kota Kendari yang merupakan salah satu unit penyelenggaraan pelayanan publik.

4.3.           Informan Penelitian.
Untuk mendukung penelitian ini, diperlukan informan penelitian antara lain :
1.      Penanggung jawab unit layanan 1 orang
2.      Pengguna layanan 8 orang
3.      Akademisi 1 orang

4.4.           Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.
Untuk memperoleh bahan hukum yang dibutuhkan, digunakan teknik pengumpulan bahan hukum yakni;
1.      Penelitian Kepustakaan, yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan peraturan perundang-undangan dan menganalisa buku-buku, laporan, atau bahan publikasi lainnya yang relevan dengan tujuan penelitian ini.
2.      Wawancara, dilakukan bilamana terdapat data yang belum diperoleh dengan metode dokumentasi dan keputakaan. Teknik ini digunakan dengan cara tatap muka secara langsung dengan pihak-pihak terkait guna memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan. Wawancara dilakukan bebas, terstruktur dengan materi yang disesuaikan dengan topik bahasan.
3.      Metode observasi dan kuesioner. Metode observasi adalah merupakan metode pengumpul data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki dan hasil observasi memberikan kemungkinan untuk ditafsirkan secara ilmiah. Sedangkan kuesioner merupakan suatu teknik pengumpulan data secara tidak langsung (peneliti tidak langsung bertanya jawab dengan responden). Instrumen atau alat pengumpulan datanya juga disebut angket berisi sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab atau direspon oleh responden.
4.5.           Analisis Bahan Hukum
Setelah seluruh bahan hukum  baik primer maupun sekunder serta informasi yang diperoleh, dijelaskan dalam bentuk deskripsi   kualitatif maupun kuantitatif selanjutnya dianalisa dengan pendekatan normatif sehingga dapat diketahui tingkat kepatuhan hukum Pemerintah Kecamatan Baruga terhadap UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanna Publik. Pada analisis data kuantitatif, pengolahan data meliputi tahap editing dan koding, penyederhanaan data dan mengkode data.
a.       Pemeriksaan Bahan Hukum (editing)
Langkah ini dilakukan untuk mengetahui apakah bahan hukum yang terkumpul telah lengkap, sehingga dapat dipersiapkan untuk tahap selanjutnya.
b.      Penyederhanaan Bahan Hukum
Agar bahan hukum mudah dianalisis, maka jawaban dari responden dituangkan secara tertulis agar dapat menjadi bahan hukum sekunder.

            Setelah tahap pengolahan bahan hukum dilakukan, tahap selanjutnya adalah menyusun rencana analisis. Rencana analisis adalah suatu rumusan yang sudah dapat mencerminkan atau memberikan gambaran analisisnya.
Tahapan dalam menyusun rencana analisis:
1.      Menentukan variabel yang hendak dianalisis.
Variabel yang hendak dianalisis pada umumnya sudah terlihat pada model hipotesis penelitian, tetapi dapat ditambah dengan variabel lain atau hubungan dengan variabel lain untuk menambah pengetahuan untuk penelitian. Hubungan antar variabel yang akan dianalisis tersebut harus mendapat dukungan teori dan logika hukum.
2.      Rekonstruksi variabel yang hendak dianalisis.
Dalam pengumpulan data, terkadang terdapat data yang tidak sesuai dengan apa yang direncanakan, sehingga peneliti harus memeriksa dan menjabarkan kembali bahan hukum yang diperoleh.
3.      Pengelompokan variabel ke dalam variabel baru
Pengelompokan kategori jawaban atau variabel ke dalam jawaban atau variabel yang baru dilakukan agar bahan penelitian menjadi sederhana dan memudahkan peneliti untuk melakukan analisis dan membuat kesimpulan.
           
Pada penelitian ini, menggunakan analisa tabel silang lebih dari dua variabel, yaitu tabel silang yang mengaitkan data yang terdiri dari lebih dari dua variabel (variabel terpengaruh dan kontrol) (Masri S dan Sofian Effendi, 2005). Setiap variabel akan dinilai dan dibobot untuk kemudian mendapatkan 3 (tiga) kategorisasi dari penilaian tersebut. Variabel Penilaian dan indikatornya tersebut menggunakan standar penilaian kepatuhan yang dilakukan oleh Ombudsman Republik Indonesia dalam melakukan survey kepatuhan terhadap Pemerintah dan pemerintah daerah tahun 2016 yang dapat diakses melalui aplikasi htpp//: asik.ombudsman.go.id  adalah sebagai berikut :
Tabel 1 : Indikator Standar Penilaian
No
Variabel Penilaian
Komponen Indikator
Nilai
1
Standar Pelayanan
Persyaratan,
6
Sistem mekanisme dan prosedur
6
Produk pelayanan
6
Jangka waktu penyelesaian
12
Biaya/ tarif
12
2
Maklumat Layanan
Ketersediaan Maklumat Pelayanan
12
3
Sistem Informasi Pelayanan Publik
Ketersediaan Sistem Informasi Pelayanan Publik secara manual atau elektronik
12
4
Sarana dan Prasarana

Ketersediaan toilet untuk pengguna layanan
2
Ketersediaan ruang tunggu
3
Ketersediaan loket/meja pelayanan
3
5
Pelayanan khusus
Ketersediaan sarana / prasarana khusus bagi pengguna layanan berkebutuhan khusus (ram/rambatan/kursi roda/jalur pemandu/toilet khusus/ruang menyesui, dll)
2
Ketersediaan pelayanan khusus bagi pengguna layanan berkebutuhan khusus.
2
6
Pengelolaan pengaduan
Ketersediaan sarana pengaduan (SMS/Telepon/Fax/email, dll)
5
 Ketersediaan informasi prosedur dan tata cara penyampaian pengaduan,
3
Ketersediaan pejabat/petugas pengelola pengaduan.,
5
7
Penilaian Kinerja
Sarana pengukuran kepuasan pelanggan
2,5
8
Visi Misi dan Moto
Ketersediaan  Moto pelayanan
2


Ketersediaan visi dan misi pelayanan.
2
9
Atribut
Ketersediaan petugas penyelenggaraan menggunakan Id Card
2,5
Total Nilai
100

Berdasarkan variabel dan indikator penilaian tersebut, akan diperoleh nilai maksimal/total sebesar 100 dan dibagi ke dalam 3 (tiga) kategorisasi berdasarkan perolehan nilai yang diperoleh oleh masing-masing unit layanan pada Kantor Kecamatan Baruga Kota Kendari. Kategorisasi tersebut adalah :
1.        Zona merah atau kepatuhan rendah (0-50): Zona merah menggambarkan kepatuhan yang rendah dari penyelenggara layanan publik terhadap pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;
2.        Zona kuning atau kepatuhan sedang (51-80): Zona kuning menggambarkan kepatuhan yang sedang terhadap pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;
3.        Zona hijau atau kepatuhan tinggi (81-100) : zona hijau menggambarkan kepatuhan yang tinggi terhadap pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik


BAB 5.  HASIL YANG DICAPAI
Berdasarkan Undang-Undang  No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan publik disebutkan bahwa Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Berdasarkan  ketentuan tersebut, peneliti membatasi ruang lingkup pelayanan yang menjadi obyek penelitian yakni pada pelayanan administrative saja. Hasil  penelitian menunjukkan bahwa pada Kantor Kecamatan Baruga Kota Kendari terdapat beberapa jenis layanan publik yang menjadi obyek penelitian sesuai dengan hasil klarifikasi tertulis dengan Tuciman, S.Sos (Kasubag Perencanaan, Pelaporan dan Keuangan Kantor Kecamatan Baruga Kota Kendari, tanggal  29 Agustus 2016) bahwa :
Ada beberapa jenis pelayanan yang rutin dilakukan oleh masyarakat  yaitu pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK) dan Akta Pencatatan Sipil. Selain itu, ada beberapa pelayanan administrasi lainnya misalnya pengesahan dokumen pengalihan hak atas tanah.

Pada penelitian ini difokuskan pada 3 sampel pelayanan yakni pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK) dan Akta Pencatatan Sipil. Berdasarkan hasil penilaian kepatuhan hukum Pemerintah Kecamatan Baruga terhadap Pasal 21 UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, diperoleh gambaran sebagai berikut :


Tabel 2 : Indikator Hasil Penilaian terhadap Pelayanan KTP
No
Variabel Penilaian
Komponen Indikator
ceklist
Nilai
1
Standar Pelayanan
Persyaratan,
Ada
6
Sistem mekanisme dan prosedur
Ada
6
Produk pelayanan
Ada
6
Jangka waktu penyelesaian
Tidak ada
-
Biaya/ tarif
Ada
12
2
Maklumat Layanan
Ketersediaan Maklumat Pelayanan
Ada
12
3
Sistem Informasi Pelayanan Publik
Ketersediaan Sistem Informasi Pelayanan Publik secara manual atau elektronik
Ada
12
4
Sarana dan Prasarana

Ketersediaan toilet untuk pengguna layanan
Tidak ada
-
Ketersediaan ruang tunggu
Ada
3
Ketersediaan loket/meja pelayanan
Ada
3
5
Pelayanan khusus
Ketersediaan sarana / prasarana khusus bagi pengguna layanan berkebutuhan khusus (ram/rambatan/kursi roda/jalur pemandu/toilet khusus/ruang menyesui, dll)
Tidak ada
-
Ketersediaan pelayanan khusus bagi pengguna layanan berkebutuhan khusus.
Tidak ada
-
6
Pengelolaan pengaduan
Ketersediaan sarana pengaduan (SMS/Telepon/Fax/email, dll)
Tidak ada
-
 Ketersediaan informasi prosedur dan tata cara penyampaian pengaduan,
Tidak ada
-
Ketersediaan pejabat/petugas pengelola pengaduan.,
Tidak ada
-
7
Penilaian Kinerja
Sarana pengukuran kepuasan pelanggan
Tidak ada
-
8
Visi Misi dan Moto
Ketersediaan  Moto pelayanan
Tidak ada
-


Ketersediaan visi dan misi pelayanan.
Ada
2
9
Atribut
Ketersediaan petugas penyelenggaraan menggunakan Id Card
Tidak ada
-
Total Nilai

62
Zona
Sedang



Tabel 3 : Indikator Hasil Penilaian Terhadap Pelayanan KK.
No
Variabel Penilaian
Komponen Indikator
ceklist
Nilai
1
Standar Pelayanan
Persyaratan,
Ada
6
Sistem mekanisme dan prosedur
Ada
6
Produk pelayanan
Ada
6
Jangka waktu penyelesaian
Tidak ada
-
Biaya/ tarif
Ada
12
2
Maklumat Layanan
Ketersediaan Maklumat Pelayanan
Ada
12
3
Sistem Informasi Pelayanan Publik
Ketersediaan Sistem Informasi Pelayanan Publik secara manual atau elektronik
Ada
12
4
Sarana dan Prasarana

Ketersediaan toilet untuk pengguna layanan

Tidak ada
-
Ketersediaan ruang tunggu

Ada
3
Ketersediaan loket/meja pelayanan

Ada
3
5
Pelayanan khusus
Ketersediaan sarana / prasarana khusus bagi pengguna layanan berkebutuhan khusus (ram/rambatan/kursi roda/jalur pemandu/toilet khusus/ruang menyesui, dll)
Tidak ada
-
Ketersediaan pelayanan khusus bagi pengguna layanan berkebutuhan khusus.
Tidak ada
-
6
Pengelolaan pengaduan
Ketersediaan sarana pengaduan (SMS/Telepon/Fax/email, dll)
Tidak ada
-
 Ketersediaan informasi prosedur dan tata cara penyampaian pengaduan,
Tidak ada
-
Ketersediaan pejabat/petugas pengelola pengaduan.,
Tidak ada
-
7
Penilaian Kinerja
Sarana pengukuran kepuasan pelanggan
Tidak ada
-
8
Visi Misi dan Moto
Ketersediaan  Moto pelayanan
Tidak ada
-


Ketersediaan visi dan misi pelayanan.
Ada
2
9
Atribut
Ketersediaan petugas penyelenggaraan menggunakan Id Card
Tidak ada
-
Total Nilai

62
Zona
Sedang
Tabel 4 : Indikator Hasil Penilaian Terhadap
Pelayanan Akta Pencatatan Sipil.
No
Variabel Penilaian
Komponen Indikator
ceklist
Nilai
1
Standar Pelayanan
Persyaratan,
Ada
6
Sistem mekanisme dan prosedur
Ada
6
Produk pelayanan
Ada
6
Jangka waktu penyelesaian
Tidak ada
-
Biaya/ tarif
Ada
12
2
Maklumat Layanan
Ketersediaan Maklumat Pelayanan
Ada
12
3
Sistem Informasi Pelayanan Publik
Ketersediaan Sistem Informasi Pelayanan Publik secara manual atau elektronik
Ada
12
4
Sarana dan Prasarana

Ketersediaan toilet untuk pengguna layanan

Tidak ada
-
Ketersediaan ruang tunggu

Ada
3
Ketersediaan loket/meja pelayanan

Ada
3
5
Pelayanan khusus
Ketersediaan sarana / prasarana khusus bagi pengguna layanan berkebutuhan khusus (ram/rambatan/kursi roda/jalur pemandu/toilet khusus/ruang menyesui, dll)
Tidak ada
-
Ketersediaan pelayanan khusus bagi pengguna layanan berkebutuhan khusus.
Tidak ada
-
6
Pengelolaan pengaduan
Ketersediaan sarana pengaduan (SMS/Telepon/Fax/email, dll)
Tidak ada
-
 Ketersediaan informasi prosedur dan tata cara penyampaian pengaduan,
Tidak ada
-
Ketersediaan pejabat/petugas pengelola pengaduan.,
Tidak ada
-
7
Penilaian Kinerja
Sarana pengukuran kepuasan pelanggan
Tidak ada
-
8
Visi Misi dan Moto
Ketersediaan  Moto pelayanan
Tidak ada
-


Ketersediaan visi dan misi pelayanan.
Ada
2
9
Atribut
Ketersediaan petugas penyelenggaraan menggunakan Id Card
Tidak ada
-
Total Nilai

62
Zona
Sedang
Berdasarkan hasil penelitian tersebut diatas diperoleh gambaran bahwa untuk pelayanan pada tiga jenis layanan yakni pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK) dan Akta Pencatatan Sipil pada Kantor Camat Baruga Kota Kendari tingkat kepatuhan terhadap UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik masuk kategori sedang atau zona kuning.
Ada beberapa komponen standar pelayanan yang belum terpenuhi yang seharusnya sudah ada diantaranya pada variabel penilaian Standar Pelayanan Publik  pada komponen indikator jangka waktu penyelesaian. Setiap produk layanan tidak ditentukan. Jangka waktunya, akibatnya, pelayanan yang diberikan kepada masyarakat tidak memiliki kepastian waktu sehingga ini berpotensi terjadinya maladministrasi berupa penundaan berlarut dalam penyelenggraan pelayanan publik. Untuk variabel penialaian Sarana dan Prasarana  pada komponen indikator ketersediaan toilet untuk pengguna layanan yang  tidak tersedia karena rusak. 
Pada variabel penilaian pelayanan khusus pada komponen indikator Ketersediaan sarana / prasarana khusus bagi pengguna layanan berkebutuhan khusus (ram/rambatan/kursi roda/jalur pemandu/toilet khusus/ruang menyesui, dll), tidak tersedia. Hal ini dapat menyebabkan sulitnya mendapatkan akses layanan yang berkualitas. Selain itu, juga belum terdapat pelayanan khusus bagi pengguna layanan yang berkebutuhan khusus yang seharusnya dalam ketentuan perundang-undangan dijamin hak-haknya.
Pada variabel pengelolaan pengaduan untuk komponen indikator Ketersediaan sarana pengaduan (SMS/Telepon/Fax/email, dll), Ketersediaan informasi prosedur dan tata cara penyampaian pengaduan, dan Ketersediaan pejabat/petugas pengelola pengaduan belum tersedia. Hal ini menyulitkan bagi masyarakat khususnya pengguna layanan untuk menyampaikan keluahan terhadap pelayanan yang diberikan.
Untuk menilai kinerja pelayanan publik dapat dilihat pada komponen indikator ketersediaan sarana pengukuran kepuasan pelanggan. Komponen ini juga belum tersedia sehingga kinerja pelayanan publik pada Kantor Kecamatan Baruga Kota Kendari sulit diukur. Begitu pula pada komponen indikator visi misi dan Motto pelayanan. Motto layanan belum tersedia yang seharusnya motto layanan itu dapat menjadi acuan untuk meningkatkan kualitas layanan.
Pada variabel penilaian atribut pada komponen indikator Ketersediaan petugas penyelenggaraan menggunakan Id Card tidak tersedia. Hal ini menyulitkan bagi pengguna layanan untuk membedakan mana pegawai dan mana pengunjung. Selain itu, tanpa identitas sulit dilakukan control terhadap prilaku penyelenggara pelayanan publik.
Dengan demikian, terdapat 7 (tujuh) variabel penilaian yang terdiri dari 19 komponen indikator yang menjadi obyek penelitian. Dari 19 komponen indikator tersebut, terdapat 9 komponen indikator yang tersedia dan 10 komponen indikator yang tidak tersedia sehingga secara komulatif diperoleh tingkat kepatuhan sedang atau zona kuning dengan total nilai 62.
Untuk mengetahui dampak secara langsung yang dialami masyarakat dengan tidak terpenuhinya standar layanan ini,  peneliti melakukan observasi dan wawancara dengan pengguna layanan.
Peneliti sendiri telah melakukan under cover atau menyamar sebagai pengguna layanan penerbitan Akta Kelahiran. Ada beberapa penyimpangan yang terjadi dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik ini antara lain :
-          Petugas yang memberikan pelayanan tidak menggunakan atribut resmi, sehingga selaku pengguna layanan harus bertanya siapa petugas yang memberikan pelayanan.
-          Tidak terdapat ketentuan biaya yang terpampang, sehingga pengguna layanan tidak mengetahui kepastian biaya yang seharusnya dikeluarkan untuk mendapatkan layanan.
-          Untuk pengurusan akta kelahiran ternyata harus membayar sebesar Rp. 150.000,-. Dan biaya ini ternyata untuk kepentingan mempercepat prosesnya.
Untuk mendapatkan perbandingan terkait kualitas penyelenggaraan pelayanan publik pada Kantor Kecamatan Baruga Kota Kendari, peneliti melakukan wawancara dengan beberapa pengguna layanan. Peneliti mendapatkan informasi dari 5 (lima) orang responden yang tidak ingin identitasnya dibuka yang pada pokoknya menyampaikan bahwa[15] :
-          Dalam pengurusan KTP, tidak jelas jangka waktu penyelesaian terhadap produk KTP yang dimohonkan. Akan tetapi itu dapat dipercepat prosesnya dengan membayar sejumlah uang. Menurut petugas layanan, bahwa uang tersebut untuk biaya penggati transportasi dari Kantor Kecamatan Baruga ke Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Kendari yang jaraknya sangat jauh.
-          Petugas juga tidak menggunakan atribut, sehingga sulit membedakan antara pengunjung dengan petugas pemberi layanan.
Sementara itu, dalam pengurusan dokumen Kartu Keluarga salah satu pengguna layanan[16] mengeluhkan layanan yang diberikan oleh petugas bahwa :
Petugas diskriminasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Masyarakat yang membayar dengan sejumlah uang kepada petugas mendapatkan pelayanan yang cepat, sementara yang tidak membayar pelayanan yang diberikan tidak jelas penyelesaiannya.
Keluhan serupa juga dikeluhkan salah satu pengguna layanan publik[17] bahwa :
Pelayanan yang berbelit-belit menghambat kepentingan masyarakat. Saya sendiri ingin mengurus perpindahan KTP dari kabupaten lain. Akan tetapi, diwajibkan untuk mencabut KTP terlebih dahulu di daerah asal diterbitkannya KTP. Hal ini tentu memberatkan bagi masyarakat karena biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi persyaratan tersebut sangat besar karena berada di daerah provinsi yang berbeda. Karena KTP itu sudah elektronik, seharusnya sistemnya dapat melakukan perubahan secara otomatis setiap dimohonkan oleh masyarakat.  
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, penyelengaraan pelayanan publik khususnya untuk pelayanan KTP pada Kantor Kecamatan Baruga terdapat penyimpangan hukum sebagaimana dimaksud pada Pasal 21 huruf d dan hurf e UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yakni jangka waktu penyelesaian. Jangka waktu penyelesaian dan ketentuan biaya setiap produk layananan wajib ditentukan dan ditetapkan dalam Standar Pelayanan Publik. Jika produk layanan membutuhkan biaya, maka wajib dicantumkan besaran biaya dimaksud disertai dengan dasar hukumnya. Sebaliknya, jika pelayanan tersebut gratis juga wajib dicantumkan bahwa pelayanan dimaksud tidak dipungut biaya atau gratis.
Selain itu, permintaan biaya untuk pembuatan KTP juga bertentangan dengan Pasal 79A UU No. 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan mengatur bahwa “pengurusan dan penerbitan dokumen kependudukan tidak dipungut biaya”. Dengan demikian, permintaan uang atas segala pelayanan dokumen kpendudukan bertentangan dengan ketentuan pada pasal ini. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 95B UU No. 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan mengatur bahwa  “setiap pejabat dan petugas pada desa/kelurahan, kecamatan, UPT Instansi Pelaksana dan Instansi Pelaksana yang memerintahkan dan/atau memfasilitasi dan/atau melakukan pungutan biaya kepada penduduk dalam pengurusan dan penerbitan Dokumen Kependudukan sebagaimana dimaksud pada 79A dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
Praktik pungutan liar dalam penyelenggaraan pelayanan publik tidak dapat dihilangkan tanpa partisipasi aktif masyarakat dengan cara tidak memberi atau menawarkan kepada petugasnya, melaporkan kepada lembaga yang berwenang jika ada permintaan uang, barang dan jasa untuk medapatkan pelayanan.
Buruknya kinerja birokrasi disebabkan karena rendahnya etika dan moral oleh pejabat birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang baik. Pada umumnya pejabat birokrasi belum mampu menempatkan para pengguna jasa birokrasi sebagai “pelanggan” yang memiliki kemampuan mempengaruhi nasib diri dan birokrasinya. Para pengguna jas amasih diperlakukan sebagai klien yang nasibnya ditentukan oleh tindakannya[18].
Peran hukum sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sepatutnya dikedepankan dan ditegakkan secara benar tanpa pandang bulu. Supremasi hukum yang tegas merupakan cirri dari Negara demokrasi yang didalamnya terdapat suatu jaminan atas penegakan hukum tanpa memandang posisi atau kedudukan seseorang baik pejabat birokrasi sebagai penyelenggara pelayanan publik, maupun masyarakat sebagai pengguna layanan publik. Hukum diharapkan mampu mewujudkan tujuan tersebut yang pada akhirnya bermuara pada kesejahteraan rakyat.
Arah kebijakan publik (public policy) telah dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuannya, paling tidak ada 3 (tiga) hal penting yaitu ; perumusan kebijakan publik, implementasi kebijakan publik, dan evaluasi kebijakan. Dari segi perencanaan kebijakan telah dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang secara spesifik diatur dalam UU N0. 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia, UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik dan berbagai peraturan lainnya.
Dari segi implementasi kebijakan, secara umum sangat lemah dan ironisnya juga tidak diikuti dengan evaluasi kebijakan secara berkala. Berdasarkan hasil penelitian pada Kantor Kecamatan Baruga Kota Kendari, diketahui bahwa dokumen Standar Pelayanan Publik yang menjadi acuan bagi penyelenggara maupun pengguna layanan publik belum tersusun yang didalamnya memuat komponen standar pelayanan publik. Sehingga, problem penyelenggaraan pelayanan publik tidak pernah berakhir karena masyarakat tidak mengetahui secara jelas apa yang menjadi hak dan kewajibannya, begitupula penyelenggara pelayanan publik juga tidak memahami secara benar tanggung jawabnya.


BAB VI.  PENUTUP
6.1.       Kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk pelayanan pada tiga jenis layanan yakni pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK) dan Akta Pencatatan Sipil pada Kantor Camat Baruga Kota Kendari bahwa tingkat kepatuhan hukum terhadap UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik masuk kategori sedang atau zona kuning. Dari 20 (dua puluh) komponen indikator yang dinilai, hanya ada 9 (Sembilan) indikator saja yang terpenuhi dengan total nilai 62 (enam puluh dua). 11 (sebelas) komponen indikator lainnya tidak tersedia yang seharusnya wajib tersedia disetiap instansi penyelenggara pelayanan publik.
6.2.    Saran.
1.      Kepada Pemerintah Kecamatan Baruga, agar menyususn Standar Pelayanan Publik agar dapat menjadi acuan dalam penyelennggaraan Pelayanan Publik.
2.      Kepada Walikota Kendari, perlu dilakukan evaluasi penyelenggaraan pelayanan publik pada setiap instansi layanan publik.
3.      Kepada masyarakat agar aktif melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik.




DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rustan, 2012. Peran Ombudsman Republik Indonesia Dalam Perbaikan Pelayanan Publik. Jurnal Hukum LEGITIME Volume II. No. 2 Edisi Desember 2015 diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari.

H. Lili Rasjidi dan Liza Rasjidi, 2016.  Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Hj. Jum Anggriani, 2012. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta : Graha Ilmu.

H. Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat,  2010. Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik. Bandung : Nuansa; Cetakan I.

Inu Kencana, 2010. Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Bandung : Nuansa.

Irawan Prasetya, 2004.  Logika dan Prosedur Penelitian (Pengantar Teori dan Panduan Praktis Penelitian Sosial bagi Mahasiswa dan Peneliti Pemula, Jakarta, STIA LAN PRESS

Joenaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, 2016. Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Jakarta : Prenadamedia Group.

Muh. Jurfi Dewa, 2011.  Hukum Administrasi Negara Dalam Perspektif Pelayanan Publik, Kendari : Unhalu Press

Peter Mahmud Marzuki, 2016. Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Prenadamedia Group.

Ridwan HR, 2011. Hukum Administrasi Negara Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Soerjono Soekanto, 1982.  Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, Jakarta : CV Rajawali

Siswanto Sunarno, 2009. Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika

UU No. 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia
UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
UU No. 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan.
TribunNews.Com


[1] H. lili Rasjidi dan Liza Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2016. Hlm. 82-84.
[2] Soekanto, Soerjono, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, Jakarta : CV Rajawali, 1982. Hlm. 152
[3] Ibid, Hlm. 216.
[4] TribunNews.Com, diunduh pada tanggal 23 April 2014
[5] Muh. Jurfi Dewa,  Hukum Administrasi Negara Dalam Perspektif Pelayanan Publik, (Kendari : Unhalu Press), 2011. Hlm. 97
[6] H. Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik. Bandung : Nuansa; Cetakan I; 2010. Hlm. 82

[7] Siswanto Sunarno,  Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia.  Jakarta : Sinar Grafika, 2009. Hlm. 3
[8] Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2005. Hlm. 18-19.
[9] Ahmad Rustan, 2012. Peran Ombudsman Republik Indonesia Dalam Perbaikan Pelayanan Publik. Jurnal Hukum LEGITIME Volume II. No. 2 Edisi Desember 2015 diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari. Hlm. 34
[10] Hj. Jum Anggriani, 2012. Hukum Administrasi Negara. Graha Ilmu, Yogyakarta. Hlm. 46
[11] Joenedi Efendi, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Prenadamedia Group, Jakarta. 2016. Hlm. 124.
[12] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta. 2016. Hlm.133.
[13] Ibid, Hlm. 181
[14] Ibid, Hlm. 183-184
[15] Wawancara pada tanggal, 02 November 2016.
[16] Fatwa Al Yusak, Wawancara pada tanggal, 03 November 2016.
[17] Irmawati, Wawancara pada tanggal, 03 November 2016.
[18] Nur Nashriani Jufri (Akademisi Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo), wawancara pada tanggal 04 November 2016.
/[ 0 komentar Untuk Artikel Kepatuhan Pemerintah Kecamatan Baruga Terhadap Pemenuhan Komponen Standar Pelayanan Publik Sesuai UU RI No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publikp]\

Posting Komentar