BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah.
Sesungguhnya
setiap manusia membutuhkan pelayanan dan sebaliknya juga setiap manusia adalah
pelayan. Apa yang dikerjakan oleh manusia, sebahagian besar untuk melayani
kebutuhan manusia lainnya. Untuk itu, pelayanan tidak akan pernah terlepaskan
dari kehidupan manusia. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka dibutuhkan
peran Negara untuk menfasilitasi pelayanan terhadap warga Negara. UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan tujuan bernegara serta hakekat
bernegara adalah mewujudkan kesejahteraan rakyat. Tugas konstitusional untuk mewujudkan tujuan bernegara diamanahkan
kepada penyelenggara negara pada semua level.
Karenanya kehadiran penyelenggara negara hanya semata-mata untuk dan
salah satunya adalah memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Dengan
kata lain seluruh kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang banyak itu
harus atau perlu adanya suatu pelayanan yang efisien dan efektif.
Penyelenggaraan pelayanan publik yang
dilakukan oleh pemerintah itu masih dihadapkan pada sistem pemerintahan yang
belum efisien dan efektif serta kualitas
sumber daya manusia aparatur yang belum memadai. Hal ini terlihat dari masih
banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat baik secara Iangsung maupun
melalui media massa. Pelayanan publik perlu dilihat sebagai usaha pemenuhan
kebutuhan dan hak-hak dasar masyarakat. Dalam hal ini penyelenggaraan pelayanan
publik tidak hanya yang di selenggarakan oleh pemerintah semata tetapi juga
oleh penyelenggara swasta.
Pada saat
ini persoalan yang dihadapi begitu mendesak, masyarakat mulai tidak sabar atau
mulai cemas dengan mutu pelayanan aparatur pemerintahan yang pada umumnya
semakin merosot atau memburuk. Pelayanan publik oleh pemerintah lebih buruk
dibandingkan dengan pelayanan yang diberikan oleh sektor swasta, masyarakat
mulai mempertanyakan apakah pemerintah mampu menyelenggarakan pemerintahan dan
atau memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat.
Sudah sepatutnya pemerintah mereformasi
paradigma pelayanan publik tersebut. Reformasi paradigma pelayanan publik ini
adalah penggeseran pola penyelenggaraan pelayanan publik dari yang semula
berorientasi pemerintah sebagai penyedia menjadi pelayanan yang berorientasi
kepada kebutuhan masyarakat sebagai pengguna. Dengan begitu, tak ada pintu
masuk alternatif untuk memulai perbaikan pelayanan publik selain sesegera
mungkin mendengarkan suara publik itu sendiri. Inilah yang akan menjadi jalan
bagi peningkatan partisipasi masyarakat di bidang pelayanan publik.
Pelayanan publik yang buruk di
Indonesia selama ini telah menjadi rahasia umum bagi setiap masyarakat sebagai
penerima layanan, ungkapan ini tidaklah berlebihan ketika melihat fakta bahwa
hak sipil warga sering dilanggar dalam proses pengurusan berbagai layanan
seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), serta izin-izin lainnya. Pembuatan KTP yang
seharusnya mudah, dipersulit dengan banyaknya meja dan rangkaian prosedur yang
harus dilalui. Keluhan-keluhan seperti inilah yang sering muncul dari
masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik termasuk didalamnya rendahnya
kualitas penyelenggaraan pelayanan publik.
Pelayanan
publik masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk diakses, prosedur yang
berbelit-belit ketika harus mengurus suatu perijinan tertentu, biaya yang tidak
jelas serta terjadinya praktek pungutan liar (pungli), merupakan indikator
rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Bahwa penelitian mengenai kepatuhan dalam pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik telah dilaksanakan
oleh Ombudsman RI pada bulan Maret sampai dengan Mei 2013 dengan objek
penelitian 21 Unit Layanan
yang menyelenggarakan pelayanan publik di Kota Kendari, menunjukkan bahwa
16 Unit Pelayanan diantaranya masuk dalam zona merah (buruk), 4 Unit Layanan
yang masuk kategori zona kuning (sedang)
dan hanya 1 unit layanan yang masuk
zona hijau (baik). Hasil survey ini menujukkan bahwa penyelenggaraan
pelayanan publik masih sangat rendah. Hal inilah yang mendasari pengusul untuk
mengajukan proposal penelitian dengan judul : “Kepatuhan Pemerintah Kecamatan
Baruga Kota Kendari dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik”.
1.2.
Rumusan
Masalah
Dari
latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu
Bagaiamanakah kepatuhan Pemerintah Kecamatan Baruga Kota Kendari dalam
Penyelenggaraan Pelayanan Publik sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik?
1.3.
Target Luaran
Yang Ingin Dicapai
1.
Diharapkan dapat menjadi bahan ajar khususnya pada
mata kuliah Hukum Administrasi Negara.
2.
Menghasilkan artikel yang dapat dimuat dalam Jurnal
Ilmiah Hukum.
3. Dapat memberikan masukan kepada
pihak-pihak pengambil kebijakan khususnya Pemerintah Kecamatan Baruga Kota Kendari agar meningkatkan kualitas
penyelenggaraan pelayanan publik.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Konsep Kepatuhan.
Masyarakat mematuhi hukum dapat
dilihat dengan beberapa teori pendekatan anatara lain[1]
:
a.
Teori kedaulatan Tuhan (teokrasi).
“…..segala hukum adalah Hukum Ketuhanan. Tuhan
sendirilah yang menetapkan hukum, dan perintah-perintah duniawi adalah
pesuruh-pesuruh kehendak Ketuhanan. Hukum dianggap
sebagaikehendak atau kemauan Tuhan. Manusiasebagai salah satu ciptaa-Nya wajib
taat pada hukum Ketuhanan ini.
b.
Teori perjanjian masyarakat.
Teori ini
dipolopori oleh Hugo de Groot, Thomas Hobbes, John Locke, Jean Jacques Rousseau
dan Immanuel Kant. Pada pokoknya teori ini berpendapat bahwa orang taat dan
tunduk pada hukum karena berjanji menaatinya. Hukum dianggap sebagai kehendak
bersama, suatu hasil consensus (perjanjian) dari segenap anggota masyarakat.
c.
Teori kedaulatan Negara.
Pada intinya
teori ini berpendapat bahwa ditaatinya hukum karena Negara menghendakinya. Hans
Kelsen dalam bukunya “Hauptprobleme der
Staatslehre” (1811), “Das Problem der
Souveranitat und die Theorie des Volkerechts” (1920), “Allgemeine Staatslehre” (1925) dan “Reine Rechtslehre” (1934) menganggap bahwa hukum itu merupakan “Wille des Staates”. Orang tunduk pada
hukum karena merasa wajib menaatinya karena hukum itu adalah kehendak Negara.
d.
Teori kedaulatan hukum.
Hukum mengikat
bukan karena Negara menghendakinya, melainkan karena merupakan perumusan dari
kesadaran hukum rakyat. Berlakunya hukum itu karena niali batinnya, yaitu
menjelma di dalam hukum itu. Pendapat ini diutarakan oleh Prof. Mr. H. Krabbe
dalam bukunya “Die Lehre der
Rechtssouveranitat” (1906). Selanjunya, beliau berpendapat bahwa kesadaran
hukum yang dimaksud berpangkal pada perasaan hukum setiap individu, yaitu
perasaan bagaimana seharusnya hukum itu.
Seperti
apa yang sering dikatakan oleh banyak orang bahwa kesadaran hukum merupakan
salah satu faktor penentu dari kepatuhan hukum, sehingga dalam mebicarakan
mengenai kepatuhan hukum harus dimulai terlebih dahulu dari masalah kesadaran
hukum.
Soerjono
Soekanto[2]
berpendapat bahwa kesadaran hukum merupakan nilai-nilai yang terdapat di dalam
diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada.
Jadi pada dasarnya setiap manusia mempunyai rasa keadilan, dan asas kesadaran
hukum ada di dalam diri setiap manusia.
Ada
pendapat yang menyatakan bahwa kesadaran hukum yang tinggi menyebabkan warga
masyarakat mematuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku. Sebaliknya apabila
kesadaran hukum sangat rendah maka derajat kepatuhan terhadap hukum juga rendah[3].
Indikator-indikator kesadaran hukum menurut B. Kutschincky adalah :
1.
Pengetahuan
tentang peraturan-peraturan hukum (law awareness);
2.
Pengetahuan
tentang isi peraturan-peraturan hukum (law acquaintance);
3.
Sikap
terhadap peraturan-peraturan hukum (legal
attitude);
4.
Pola-pola
perilaku hukum (law behavior).
Indikator
tersebut di atas menunjukkan pada tingkat kesadaran hukum tertentu mulai dari
yang terendah sampai dengan yang tertinggi.
Apabila
indikator–indikator kesadaran hukum, yaitu pengetahuan tentang hukum,
pengetahuan tentang isi hukum, sikap terhadap hukum serta pola perilaku hukum
dihubungkan dengan kepatuhan hukum, maka akan diperoleh pengertian sebagai
berikut:
1.
Pengetahuan
tentang peraturan hukum tidak mempengaruhi kepatuhan terhadap peraturan;
2.
Pengetahuan
tentang isi peraturan hukum sangat mempengaruhi sikap terhadap suatu peraturan,
akan tetapi sukar untuk menetapkan secara pasti derajat kepatuhan macam apakah
yang dicapai dengan pengetahuan tersebut;
3.
Sikap
terhadap peraturan cenderung mempengaruhi taraf kepatuhan hukum;
4.
Pola
perilaku hukum sangat mempengaruhi kepatuhan hukum, yang mana perilaku yang
sesuai dengan hukum merupakan salah satu ciri atau kriteria akan adanya
kepatuhan atau ketaatan hukum yang cukup tinggi.
Dengan demikian maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa indikator perilaku hukum merupakan petunjuk akan adanya taraf
kepatuhan hukum yang tinggi, derajat mana dapat memperlihatkan tinggi rendahnya
kesadaran hukum.
2.2.
Pengertian
Pelayanan Publik.
Pelayanan publik adalah pelayanan yang
diberikan oleh pemerintah sebagai penyelenggara Negara terhadap masyarakatnya
guna memenuhi kebutuhan masyarakat itu sendiri dan memiliki tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelayanan Pelayanan publik sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor Nomor 25 Tahun 2009 didefinisikan sebagai “
adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
pelayanan sesuai dengan peraturan perundangundangan bagi setiap warga negara
dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang
disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik”.
Selanjutnya yang dimaksud penyelenggara
pelayanan publik adalah terbatas pada pelayanan publik yang menggunakan
anggaran negara atau yang melalui suatu ketentuan perundangan ditugaskan kepada
lembaga, korporasi untuk menyelenggarakan pelayanan publik dimaksud. Pengaturan
di dalam Undang-Undang dimaksud meliputi : Penetapan menteri, lembaga yang
bertanggung jawab atas pelayanan publik disertai tugas-tugasnya. Pelayanan
publik merupakan sarana pemenuhan kebutuhan mendasar masyarakat untuk
kesejahteraan sosial. Sehingga perlu memperhatikan nilai-nilai, sistem
kepercayaan, religi, kearifan lokal serta keterlibatan masyarakat. Perhatian
terhadap beberapa aspek ini memberikan jaminan bahwa pelayanan publik yang
dilaksanakan merupakan ekspresi kebutuhan sosial masyarakat. Dalam konteks itu,
ada jaminan bahwa pelayanan publik yang diberikan akan membantu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Selain itu, masyarakat akan merasa memiliki pelayanan
publik tersebut sehingga pelaksanaannya diterima dan didukung penuh oleh
masyarakat.
Ruang lingkup pelayanan publik sebagaimana ketentuan dalam Pasal 5 UU No. 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik meliputi pelayanan barang publik dan jasa
publik serta pelayanan administratif yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Yang dimaksud dengan barang publik adalah segala pengadaan
dan penyaluran barang publik yang dikelola oleh instansi pemerintah atau suatu
badang yang sumber pembiayayaanya menggunakan sebahagian atau seluruhnya dari
APBN atau APBD. Jasa publik adalah penyediaan jasa publik oleh instansi
pemerintah atau suatu badang seperti jasa kesehatan, jasa transportasi, jasa
telekomunikasi dan sebagainya yang sumber pembiayayaanya menggunakan sebahagian
atau seluruhnya dari APBN atau APBD. Sementara Jasa administratif maksudnya
adalah tindakan administratif pemerintah merupakan pelayanan pemberian dokumen
seperti aktakelahiran, dokumen kependudukan, perizinan, akta nikah dan
sebagainya.
Citra layanan publik di Indonesia, dari
dahulu hingga kini, lebih dominan sisi gelapnya ketimbang sisi terangnya,
selain mekanisme birokrasi yang bertele-tele ditambah dengan petugas birokrasi
yang tidak profesional. Sudah tidak asing jika pelayanan publik di Indonesia dicitrakan
sebagai salah satu sumber korupsi dan sangat beralasan apabila World Bank, dalam World Development Report 2004, memberikan stigma bahwa pelayanan publik di Indonesia sulit
diakses oleh orang miskin, dan menjadi pemicu ekonomi biaya tinggi (high
cost economy) yang pada akhirnya membebani kinerja ekonomi makro, alias
membebani publik (masyarakat). Jadi sangat dibutuhkan peningkatkan kualitas dan
menjamin penyediaan pelayanan publik serta memberi perlindungan bagi warga
negara dari penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam penyelenggaraan
pelayanan publik oleh pemerintah. Secara konstitusional, juga merupakan
kewajiban negara melayani warga negaranya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya
dalam rangka pelayanan publik[4].
Menurut Muh.
Jurfi Dewa[5]
bahwa Pelayanan menjadi
buruk karena selama ini rakyat selalu diposisikan untuk melayani pemerintah.
Sehingga pelayanan yang diberikan oleh pemerintah seolah menjadi hak, bukan
kewajiban. Inilah paradigma yang keliru dalam penyelenggaraan pelayanan public.
Untuk itu, diperlukan suatu perubahan paradigma dalam bidang pelayanan publik dengan mengembalikan dan mendudukkan
pelayan dan yang dilayani pada posisi yang sesunguhnya.
Menurut Agus
Dwiyanto,[6]
bahwa pelayanan publik selama ini telah menjadi ranah di mana Negara yang
diwakili oleh pemerintah berinteraksi langsung dengan pihak non-pemerintah.
Dalam ranah ini telah terjadi pergumulan yang sangat intensif antara pemerintah
dengan warga, baik buruknya dalam pelayanan publik sangat dirasakan oleh
masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan, jika terjadi perubahan signifikan dalam
pelayanan publik dengan sendirinya manfaat dapat dirasakan secara langsung oleh
masyarakat. Keberhasilan dalam mewujudkan praktik pemerintahan yang baik (good governance) dalam pelayanan publik
mampu membangkitkan dukungan dan kepercayaan masyarakat. Olehnya itu,
pemerintah dituntut untuk kreatif, inovatif dan cerdas dalam penyelenggaraan
pelayanan publik.
Dalam rangka pemenuhan pelayanan
publik, sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 21 UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, ada 14 komponen
standar pelayanan yang harus dipenuhi oleh penyelenggara layanan publik yaitu :
1.
Dasar
hukum;
2.
Persyaratan;
3.
System,
mekanisme dan prosedur;
4.
Jangka
waktu penyelesaian;
5.
Biaya /
tarif;
6.
Produk
pelayanan;
7.
Sarana,
paasarana, dan / atau fasilitas;
8.
Kompetensi
pelaksana;
9.
Pengawasan
internal;
10. Penanganan pengaduan, saran dan
masukan;
11. Jumlah pelaksana;
12. Jaminan pelayanan yang meberikan
kepastian pelayanan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan;
13. Jaminan keamanan dan keselamatan
pelayanan dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya,
dan risiko keragu-raguan;
14. Evaluasi dan kinerja pelaksana.
Selain 14 komponen standar layanan, penyelenggara
pelayanan publik juga berkewajiban
menyusun maklumat layanan sebagaiman ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik, bahwa : ”penyelenggara
berkewajiban menyusun dan menetapkan maklumat pelayanan yang merupkan
pernyataan kesanggupan penyelenggara dalam melaksanakan pelayanan sesuai dengan
standar pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21”.
Pentingnya komponen standar layanan ini
dalam ranka untuk mencegah tejadinya maladministrasi. Yang dimaksud dengan maladministrasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1
ayat (3) UU No. 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia adalah
prilaku atau perbuatan melawan hukum, melampau wewenang, menggunakan wewenang
untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan dai wewenang tersebut, termasuk
kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelengaraan pelayana publik
yang dilakukan oleh penyelengara Negara dan pemerintahan yang menimbulakan
kerugian materiil dan / atau immaterial bagi masyarakat dan orang perseorangan.
Untuk itu, pencegahan terjadinya maladministrasi menjadi penting karena
maladministrasi menjadi entry point
menuju korupsi, terjadinya korupsi karena diawali dengan terjadinya
maladministrasi
2.3.
Konsep
Pemerintahan yang baik Good Governance).
Dalam penyelenggaraan pemerintahan
telah terjadi pergeseran paradigma dari rule
government menjadi good governance,
dalam paradigma dari rule government
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik senantiasa
menyandarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara prinsip
tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance) tidak hanya terbatas pada penggunaan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, melainkan dikembangkan dengan menerapkan
prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang tidak hanya melibatkan
pemerintah atau negara semata tetapi harus melibatkan intern birokrasi maupun
ekstern birokrasi. Citra buruk yang melekat dalam tubuh birokrasi dikarenakan
sistem ini telah dianggap sebagai tujuan bukan lagi sekadar alat untuk
mempermudah jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Kenyataannya, birokrasi
telah lama menjadi bagian penting dalam proses penyelenggaraan pemerintahan
negara.
Siswanto Sunarno[7]
mengemukakan bahwa Sistem
kepemerintahan yang baik adalah peran serta masyarakat yang menuntut
kreatifitas masyarakat baik pengusaha, perencana, pengusaha jasa, pengembang,
dalam menyususn konsep strategi pembangunan daerah, dimana peran pemerintah
hanya terbatas pada memfasilitasi dan
memediasi. Partisipasi, mensyaratkan semua institusi governance memiliki suara dalam pembuatan keputusan, hal ini
merupakan landasan legitimasi dalam sistem demokrasi, good governance memiliki kerangka pemikiran yang sejalan dengan
demokrasi dimana pemerintahan dijalankan sepenuhnya untuk kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemerintah yang
demokratis tentu akan mengutamakan kepentingan rakyat, sehingga dalam
pemerintahan yang demokratis tersebut penyediaan kebutuhan dan pelayanan publik
merupakan hal yang paling diutamakan dan merupakan ciri utama dari good governance.
Menurut Agus Dwiyanto, bahwa karakteristik dan nilai yang melekat dalam
praktik goodgovernance adalah[8]
:
1.
Praktik goodgovernance
harus member ruang kepada actor
lembaga non pemerintah untuk berperan serta secar optimal dalam kegiatan
pemerintah sehingga memungkinkan adanya sinergi diantara kator dan lembaga
pemerintah dengan non-pemerintah seperti masyarakat sipil dan mekanisme pasar.
2.
Dalam praktik goodgovernance
terkandung nilai-nilai yang membuat pemerintah dapat lebih efektif bekerja
untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Nilai-nilai seperti efesiensi,
keadilan, dan daya tanggap menjadi nilai penting.
3.
Praktik goodgovernance
adalah praktik yang bresih dan bebas dari paraktik KKN serta berorientasi
pada kepentingan publik.
Salah satu fungsi penyelenggaraan
pemerintahan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah adalah pelayanan publik.
Peraturan perundangan Indonesia telah memberikan landasan untuk penyelenggaraan
pelayanan publik yang berdasarkan atas Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik
(AAUPB). Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme menyebutkan asas-asas
tersebut, yaitu Asas Kepastian Hukum, Asasa Tertib Penyelenggaraan Negara, Asas
kepentingan umum, Asas keterbukaan, Asas proporsionalitas, Asas profesionalitas
dan Asas Akuntabilitas. Asas ini dijadikan sebagai dasar penilaian dalam
peradilan dan upaya administrasi, disamping sebagai norma hukum tidak tertulis
bagi tindakan pemerintahan. Meskipun merupakan asas, tidak semuanya merupakan
pemikiran yang umum dan abstrak, dan dalam beberapa hal muncul sebagai aturan
hukum yang konkret atau tertuang secara tersurat dalam pasal undang-undang
serta mempunyai sanksi tertentu.
Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur)
ini menjadi landasan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Asas ini merupakan
jembatan antara norma hukum dan norma etika yang merupakan norma tidak
tertulis, Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) merupakan suatu bagian
yang pokok bagi pelaksanaan atau realisasi Hukum Tata Pemerintahan atau
Administrasi Negara dan merupakan suatu bagian yang penting sekali bagi
perwujudan pemerintahan negara dalam arti luas. Asas ini digunakan oleh para
aparatur penyelenggaraan kekuasaan negara dalam menentukan perumusan kebijakan
publik pada umumnya serta pengambilan keputusan pada khususnya, jadi Asas-Asas
Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) ini diterapkan secara tidak langsung
sebagai salah satu dasar penilaian[9].
Asas
ini merupakan kaidah hukum tidak tertulis sebagai pencerminan norma-norma etis
berpemerintahan yang wajib diperhatikan dan dipatuhi, disamping mendasarkan
pada kaidah-kaidah hukum tertulis. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa
beberapa asas diantaranya dapat disisipkan dalam berbagai ketentuan peraturan
perundang-undangan dan menjadi tolok ukur bagi hakim dalam hal mengadili
perkara gugatan terhadap pemerintah mengenai perbuatan melawan hukum oleh
penguasa. Asas ini juga dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang dijadikan
sebagai dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang layak, yang
dengan cara demikian penyelenggaran pemerintahan itu menjadi lebih baik, sopan,
adil, terhormat, bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan, tindakan
penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang.
Asas-asas
pemerintahan atau administrasi yang baik ini digunakan untuk mencegah
penyalahgunaan jabatan dan wewenang dan juga untuk mencapai dan memelihara
adanya pemerintahan dan admnistrasi yang baik, yang bersih (behoorlijk besturr)[10].
BAB 3. TUJUAN
DAN MANFAAT
3.1.
Tujuan Penelitian.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui kepatuhan hukum Pemerintah Kecamatan Baruga Kota Kendari dalam
Penyelenggaraan Pelayanan Publik sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik.
3.2.
Manfaat Penelitian.
a.
Manfaat akademis.
Secara akademis, hasil penelitian ini dapat menjadi
bahan referensi untuk penelitian selanjutnya dan dapat menjadi bahan ajar untuk
1 (satu) BAB pada mata kuliah Hukum Administrasi Negara khususnya terkait
dengan materi Pelayanan Publik.
b.
Manfaat praktis.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat
menjadi bahan evaluasi bagi Pemerintah Kota Kendari khususnya pada pemerintah
Kecamatan Baruga terkait pemenuhan dan kepatuhan hukum terhadap Komponen
Standar Pelayanan Publik sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU No. 25 Tahun 2009
Tentang Pelayanan Publik. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan bagi
masyarakat dapat lebih meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melakukan
pengawasan terhadap penyelenggraan pelayanan publik.
BAB
4 METODE
PENELITIAN
4.1.
Tipe Penelitian.
Tipe penelitian
yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian ini juga lebih
popular disebut sebagai penelitian hukum doktrinal. Penelitian ini dikonsepsikan sebagai apa yang
tertulis dalam ketentuan peraturan perundang-undangan (law in book) atau hukum yang dikonsepsikan sebagai kaidah atau
norma yang merupakan patokan berperilaku masyarakat terhadap apa yang dianggap
pantas dikaitkan dengan apa yang ada dalam tindakan (law in action)[11].
Pada penelitian
ini menggunakan pendekatan undang-undang (statute
approach) dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut
paut dengan isu hukum yang sedang ditangani[12].
Untuk menganilis masalah pada penelitian
ini, penulis menggunakan
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum. Bahan
hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat outoritatif, atau mempunyai
otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan resmi
atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim. Adapun bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi
buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar
atas putusan pengadilan[13].
Bahan-bahan non
hukum dapat berupa buku-buku mengenai ilmu politik, ekonomi, sosiologi,
filsafat, kebudayaan ataupun laporan-laporan penelitian non hukum dan
jurnal-jurnal non hukum sepanjang relevan dengan topic penelitian. Bahan-bahan
non hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan peneliti[14].
4.2.
Lokasi Penelitian.
Untuk melakukan suatu penelitian
diperlukan wilayah tertentu sebagai lokasi
penelitian. Dalam penelitian
ini dilakukan di Kantor
Camat Baruga
Kota Kendari yang merupakan salah
satu unit penyelenggaraan pelayanan publik.
4.3.
Informan Penelitian.
Untuk mendukung
penelitian ini, diperlukan informan penelitian antara lain :
1.
Penanggung jawab unit layanan 1 orang
2.
Pengguna layanan 8 orang
3.
Akademisi 1 orang
4.4.
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.
Untuk
memperoleh bahan hukum
yang dibutuhkan, digunakan teknik pengumpulan bahan hukum
yakni;
1. Penelitian Kepustakaan, yaitu suatu
penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan peraturan perundang-undangan dan menganalisa
buku-buku, laporan, atau bahan publikasi lainnya yang relevan dengan tujuan
penelitian ini.
2. Wawancara, dilakukan bilamana terdapat
data yang belum diperoleh dengan metode dokumentasi dan keputakaan. Teknik ini
digunakan dengan cara tatap muka secara langsung dengan pihak-pihak terkait
guna memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan. Wawancara dilakukan bebas,
terstruktur dengan materi yang disesuaikan dengan topik bahasan.
3. Metode observasi dan kuesioner. Metode
observasi adalah merupakan metode pengumpul data yang dilakukan dengan cara
mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki dan hasil observasi memberikan kemungkinan
untuk ditafsirkan secara ilmiah. Sedangkan
kuesioner merupakan suatu teknik pengumpulan data secara tidak langsung
(peneliti tidak langsung bertanya jawab dengan responden). Instrumen atau alat
pengumpulan datanya juga disebut angket berisi sejumlah pertanyaan-pertanyaan
yang harus dijawab atau direspon oleh responden.
4.5.
Analisis Bahan Hukum
Setelah seluruh bahan hukum
baik primer maupun sekunder serta informasi yang diperoleh, dijelaskan
dalam bentuk deskripsi kualitatif
maupun kuantitatif selanjutnya dianalisa dengan pendekatan normatif sehingga
dapat diketahui tingkat kepatuhan hukum Pemerintah Kecamatan Baruga
terhadap UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanna Publik. Pada analisis data kuantitatif,
pengolahan data meliputi tahap editing dan koding, penyederhanaan data dan
mengkode data.
a.
Pemeriksaan
Bahan Hukum
(editing)
Langkah
ini dilakukan untuk mengetahui apakah bahan hukum yang terkumpul telah lengkap, sehingga dapat
dipersiapkan untuk tahap selanjutnya.
b.
Penyederhanaan
Bahan Hukum
Agar bahan hukum mudah dianalisis, maka jawaban dari
responden dituangkan secara tertulis agar dapat menjadi bahan
hukum sekunder.
Setelah tahap pengolahan bahan hukum dilakukan, tahap selanjutnya adalah
menyusun rencana analisis. Rencana analisis adalah suatu rumusan yang sudah
dapat mencerminkan atau memberikan gambaran analisisnya.
Tahapan dalam menyusun rencana analisis:
1.
Menentukan
variabel yang hendak dianalisis.
Variabel
yang hendak dianalisis pada umumnya sudah terlihat pada model hipotesis
penelitian, tetapi dapat ditambah dengan variabel lain atau hubungan dengan
variabel lain untuk menambah pengetahuan untuk penelitian. Hubungan antar
variabel yang akan dianalisis tersebut harus mendapat dukungan teori dan logika hukum.
2.
Rekonstruksi
variabel yang hendak dianalisis.
Dalam
pengumpulan data, terkadang terdapat data yang tidak sesuai dengan apa yang
direncanakan, sehingga peneliti harus memeriksa dan menjabarkan kembali bahan hukum yang diperoleh.
3.
Pengelompokan
variabel ke dalam variabel baru
Pengelompokan
kategori jawaban atau variabel ke dalam jawaban atau variabel yang baru dilakukan
agar bahan
penelitian menjadi sederhana dan memudahkan peneliti untuk melakukan analisis
dan membuat kesimpulan.
Pada penelitian ini, menggunakan
analisa tabel silang lebih dari dua variabel, yaitu tabel silang yang
mengaitkan data yang terdiri dari lebih dari dua variabel (variabel terpengaruh
dan kontrol) (Masri S dan Sofian Effendi, 2005). Setiap variabel akan dinilai
dan dibobot untuk kemudian mendapatkan 3 (tiga) kategorisasi dari penilaian
tersebut. Variabel Penilaian dan indikatornya tersebut menggunakan
standar penilaian kepatuhan yang dilakukan oleh Ombudsman Republik Indonesia
dalam melakukan survey kepatuhan terhadap Pemerintah dan pemerintah daerah
tahun 2016 yang dapat diakses melalui aplikasi
htpp//: asik.ombudsman.go.id adalah sebagai berikut :
Tabel 1 : Indikator Standar Penilaian
No
|
Variabel
Penilaian
|
Komponen
Indikator
|
Nilai
|
1
|
Standar Pelayanan
|
Persyaratan,
|
6
|
Sistem mekanisme
dan prosedur
|
6
|
||
Produk pelayanan
|
6
|
||
Jangka waktu
penyelesaian
|
12
|
||
Biaya/ tarif
|
12
|
||
2
|
Maklumat Layanan
|
Ketersediaan Maklumat Pelayanan
|
12
|
3
|
Sistem Informasi Pelayanan Publik
|
Ketersediaan Sistem Informasi Pelayanan Publik secara
manual atau elektronik
|
12
|
4
|
Sarana dan
Prasarana
|
Ketersediaan toilet untuk pengguna layanan
|
2
|
Ketersediaan ruang tunggu
|
3
|
||
Ketersediaan loket/meja pelayanan
|
3
|
||
5
|
Pelayanan
khusus
|
Ketersediaan
sarana / prasarana khusus bagi pengguna layanan berkebutuhan khusus
(ram/rambatan/kursi roda/jalur pemandu/toilet khusus/ruang menyesui, dll)
|
2
|
Ketersediaan
pelayanan khusus bagi pengguna layanan berkebutuhan khusus.
|
2
|
||
6
|
Pengelolaan
pengaduan
|
Ketersediaan
sarana pengaduan (SMS/Telepon/Fax/email, dll)
|
5
|
Ketersediaan informasi prosedur
dan tata cara penyampaian pengaduan,
|
3
|
||
Ketersediaan
pejabat/petugas pengelola pengaduan.,
|
5
|
||
7
|
Penilaian Kinerja
|
Sarana pengukuran kepuasan pelanggan
|
2,5
|
8
|
Visi Misi dan Moto
|
Ketersediaan Moto pelayanan
|
2
|
|
|
Ketersediaan
visi dan misi pelayanan.
|
2
|
9
|
Atribut
|
Ketersediaan
petugas penyelenggaraan menggunakan Id Card
|
2,5
|
Total Nilai
|
100
|
Berdasarkan variabel dan indikator
penilaian tersebut, akan diperoleh nilai maksimal/total sebesar 100 dan dibagi
ke dalam 3 (tiga) kategorisasi berdasarkan perolehan nilai yang diperoleh oleh
masing-masing unit layanan pada Kantor Kecamatan Baruga Kota
Kendari. Kategorisasi tersebut
adalah :
1.
Zona
merah atau kepatuhan rendah (0-50): Zona merah menggambarkan kepatuhan
yang rendah dari penyelenggara layanan publik terhadap
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;
2.
Zona
kuning atau kepatuhan sedang (51-80): Zona kuning menggambarkan kepatuhan
yang sedang terhadap pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik;
3.
Zona
hijau atau kepatuhan tinggi (81-100) : zona hijau menggambarkan kepatuhan
yang tinggi terhadap pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik
BAB 5. HASIL YANG DICAPAI
Berdasarkan Undang-Undang No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan
publik disebutkan bahwa Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan
dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa,
dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan
publik.
Berdasarkan ketentuan tersebut,
peneliti membatasi ruang lingkup pelayanan yang menjadi obyek penelitian yakni
pada pelayanan administrative saja. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pada Kantor Kecamatan Baruga Kota Kendari
terdapat beberapa jenis layanan publik yang menjadi obyek penelitian sesuai
dengan hasil klarifikasi tertulis dengan Tuciman, S.Sos (Kasubag Perencanaan,
Pelaporan dan Keuangan Kantor Kecamatan Baruga Kota Kendari, tanggal 29 Agustus 2016) bahwa :
Ada beberapa jenis pelayanan yang rutin
dilakukan oleh masyarakat yaitu
pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK) dan Akta Pencatatan
Sipil. Selain itu, ada beberapa pelayanan administrasi lainnya misalnya
pengesahan dokumen pengalihan hak atas tanah.
Pada penelitian ini difokuskan pada 3 sampel pelayanan yakni pelayanan
Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK) dan Akta Pencatatan Sipil. Berdasarkan
hasil penilaian kepatuhan hukum Pemerintah Kecamatan Baruga terhadap Pasal 21 UU
No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, diperoleh gambaran sebagai berikut
:
Tabel 2 :
Indikator Hasil Penilaian terhadap Pelayanan KTP
No
|
Variabel
Penilaian
|
Komponen
Indikator
|
ceklist
|
Nilai
|
1
|
Standar
Pelayanan
|
Persyaratan,
|
Ada
|
6
|
Sistem mekanisme dan prosedur
|
Ada
|
6
|
||
Produk pelayanan
|
Ada
|
6
|
||
Jangka waktu penyelesaian
|
Tidak ada
|
-
|
||
Biaya/ tarif
|
Ada
|
12
|
||
2
|
Maklumat
Layanan
|
Ketersediaan
Maklumat Pelayanan
|
Ada
|
12
|
3
|
Sistem
Informasi Pelayanan Publik
|
Ketersediaan
Sistem Informasi Pelayanan Publik secara manual atau elektronik
|
Ada
|
12
|
4
|
Sarana dan Prasarana
|
Ketersediaan toilet untuk pengguna layanan
|
Tidak ada
|
-
|
Ketersediaan ruang tunggu
|
Ada
|
3
|
||
Ketersediaan loket/meja pelayanan
|
Ada
|
3
|
||
5
|
Pelayanan khusus
|
Ketersediaan
sarana / prasarana khusus bagi pengguna layanan berkebutuhan khusus (ram/rambatan/kursi
roda/jalur pemandu/toilet khusus/ruang menyesui, dll)
|
Tidak ada
|
-
|
Ketersediaan
pelayanan khusus bagi pengguna layanan berkebutuhan khusus.
|
Tidak ada
|
-
|
||
6
|
Pengelolaan pengaduan
|
Ketersediaan
sarana pengaduan (SMS/Telepon/Fax/email, dll)
|
Tidak ada
|
-
|
Ketersediaan informasi prosedur
dan tata cara penyampaian pengaduan,
|
Tidak ada
|
-
|
||
Ketersediaan
pejabat/petugas pengelola pengaduan.,
|
Tidak ada
|
-
|
||
7
|
Penilaian
Kinerja
|
Sarana
pengukuran kepuasan pelanggan
|
Tidak ada
|
-
|
8
|
Visi
Misi dan Moto
|
Ketersediaan Moto pelayanan
|
Tidak ada
|
-
|
|
|
Ketersediaan visi dan misi
pelayanan.
|
Ada
|
2
|
9
|
Atribut
|
Ketersediaan petugas
penyelenggaraan menggunakan Id Card
|
Tidak ada
|
-
|
Total Nilai
|
|
62
|
||
Zona
|
Sedang
|
Tabel 3 :
Indikator Hasil Penilaian Terhadap Pelayanan KK.
No
|
Variabel
Penilaian
|
Komponen
Indikator
|
ceklist
|
Nilai
|
1
|
Standar
Pelayanan
|
Persyaratan,
|
Ada
|
6
|
Sistem mekanisme dan prosedur
|
Ada
|
6
|
||
Produk pelayanan
|
Ada
|
6
|
||
Jangka waktu penyelesaian
|
Tidak ada
|
-
|
||
Biaya/ tarif
|
Ada
|
12
|
||
2
|
Maklumat
Layanan
|
Ketersediaan
Maklumat Pelayanan
|
Ada
|
12
|
3
|
Sistem
Informasi Pelayanan Publik
|
Ketersediaan
Sistem Informasi Pelayanan Publik secara manual atau elektronik
|
Ada
|
12
|
4
|
Sarana dan Prasarana
|
Ketersediaan toilet untuk pengguna layanan
|
Tidak ada
|
-
|
Ketersediaan ruang tunggu
|
Ada
|
3
|
||
Ketersediaan loket/meja pelayanan
|
Ada
|
3
|
||
5
|
Pelayanan khusus
|
Ketersediaan
sarana / prasarana khusus bagi pengguna layanan berkebutuhan khusus
(ram/rambatan/kursi roda/jalur pemandu/toilet khusus/ruang menyesui, dll)
|
Tidak ada
|
-
|
Ketersediaan
pelayanan khusus bagi pengguna layanan berkebutuhan khusus.
|
Tidak ada
|
-
|
||
6
|
Pengelolaan pengaduan
|
Ketersediaan
sarana pengaduan (SMS/Telepon/Fax/email, dll)
|
Tidak ada
|
-
|
Ketersediaan informasi prosedur
dan tata cara penyampaian pengaduan,
|
Tidak ada
|
-
|
||
Ketersediaan
pejabat/petugas pengelola pengaduan.,
|
Tidak ada
|
-
|
||
7
|
Penilaian
Kinerja
|
Sarana
pengukuran kepuasan pelanggan
|
Tidak ada
|
-
|
8
|
Visi
Misi dan Moto
|
Ketersediaan Moto pelayanan
|
Tidak ada
|
-
|
|
|
Ketersediaan visi dan misi
pelayanan.
|
Ada
|
2
|
9
|
Atribut
|
Ketersediaan petugas
penyelenggaraan menggunakan Id Card
|
Tidak ada
|
-
|
Total Nilai
|
|
62
|
||
Zona
|
Sedang
|
Tabel 4 : Indikator Hasil Penilaian
Terhadap
Pelayanan Akta Pencatatan Sipil.
No
|
Variabel
Penilaian
|
Komponen
Indikator
|
ceklist
|
Nilai
|
1
|
Standar
Pelayanan
|
Persyaratan,
|
Ada
|
6
|
Sistem mekanisme dan prosedur
|
Ada
|
6
|
||
Produk pelayanan
|
Ada
|
6
|
||
Jangka waktu penyelesaian
|
Tidak ada
|
-
|
||
Biaya/ tarif
|
Ada
|
12
|
||
2
|
Maklumat
Layanan
|
Ketersediaan
Maklumat Pelayanan
|
Ada
|
12
|
3
|
Sistem
Informasi Pelayanan Publik
|
Ketersediaan
Sistem Informasi Pelayanan Publik secara manual atau elektronik
|
Ada
|
12
|
4
|
Sarana dan Prasarana
|
Ketersediaan toilet untuk pengguna layanan
|
Tidak ada
|
-
|
Ketersediaan ruang tunggu
|
Ada
|
3
|
||
Ketersediaan loket/meja pelayanan
|
Ada
|
3
|
||
5
|
Pelayanan khusus
|
Ketersediaan
sarana / prasarana khusus bagi pengguna layanan berkebutuhan khusus
(ram/rambatan/kursi roda/jalur pemandu/toilet khusus/ruang menyesui, dll)
|
Tidak ada
|
-
|
Ketersediaan
pelayanan khusus bagi pengguna layanan berkebutuhan khusus.
|
Tidak ada
|
-
|
||
6
|
Pengelolaan pengaduan
|
Ketersediaan
sarana pengaduan (SMS/Telepon/Fax/email, dll)
|
Tidak ada
|
-
|
Ketersediaan informasi prosedur
dan tata cara penyampaian pengaduan,
|
Tidak ada
|
-
|
||
Ketersediaan pejabat/petugas
pengelola pengaduan.,
|
Tidak ada
|
-
|
||
7
|
Penilaian
Kinerja
|
Sarana
pengukuran kepuasan pelanggan
|
Tidak ada
|
-
|
8
|
Visi
Misi dan Moto
|
Ketersediaan Moto pelayanan
|
Tidak ada
|
-
|
|
|
Ketersediaan visi dan misi
pelayanan.
|
Ada
|
2
|
9
|
Atribut
|
Ketersediaan petugas
penyelenggaraan menggunakan Id Card
|
Tidak ada
|
-
|
Total Nilai
|
|
62
|
||
Zona
|
Sedang
|
Berdasarkan hasil penelitian tersebut diatas
diperoleh gambaran bahwa untuk pelayanan pada tiga jenis layanan yakni
pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK) dan Akta Pencatatan
Sipil pada Kantor Camat Baruga Kota Kendari tingkat kepatuhan terhadap UU No.
25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik masuk kategori sedang atau zona kuning.
Ada beberapa komponen standar pelayanan yang
belum terpenuhi yang seharusnya sudah ada diantaranya pada variabel penilaian
Standar Pelayanan Publik pada komponen indikator
jangka waktu penyelesaian. Setiap produk layanan tidak ditentukan. Jangka
waktunya, akibatnya, pelayanan yang diberikan kepada masyarakat tidak memiliki
kepastian waktu sehingga ini berpotensi terjadinya maladministrasi berupa
penundaan berlarut dalam penyelenggraan pelayanan publik. Untuk variabel
penialaian Sarana dan
Prasarana pada komponen indikator ketersediaan toilet untuk pengguna layanan yang tidak tersedia karena rusak.
Pada variabel
penilaian pelayanan khusus pada komponen indikator Ketersediaan
sarana / prasarana khusus bagi pengguna layanan berkebutuhan khusus
(ram/rambatan/kursi roda/jalur pemandu/toilet khusus/ruang menyesui, dll),
tidak tersedia. Hal ini dapat menyebabkan sulitnya mendapatkan akses layanan
yang berkualitas. Selain itu, juga belum terdapat pelayanan khusus bagi
pengguna layanan yang berkebutuhan khusus yang seharusnya dalam ketentuan
perundang-undangan dijamin hak-haknya.
Pada variabel pengelolaan pengaduan untuk komponen indikator
Ketersediaan sarana pengaduan (SMS/Telepon/Fax/email, dll), Ketersediaan
informasi prosedur dan tata cara penyampaian pengaduan, dan
Ketersediaan pejabat/petugas pengelola pengaduan belum tersedia. Hal ini
menyulitkan bagi masyarakat khususnya pengguna layanan untuk menyampaikan
keluahan terhadap pelayanan yang diberikan.
Untuk menilai kinerja pelayanan publik dapat dilihat
pada komponen indikator ketersediaan sarana pengukuran kepuasan pelanggan.
Komponen ini juga belum tersedia sehingga kinerja pelayanan publik pada Kantor
Kecamatan Baruga Kota Kendari sulit diukur. Begitu pula pada komponen indikator
visi misi dan Motto pelayanan. Motto layanan belum tersedia yang seharusnya
motto layanan itu dapat menjadi acuan untuk meningkatkan kualitas layanan.
Pada variabel penilaian atribut pada komponen indikator
Ketersediaan
petugas penyelenggaraan menggunakan Id Card tidak tersedia. Hal ini menyulitkan
bagi pengguna layanan untuk membedakan mana pegawai dan mana pengunjung. Selain
itu, tanpa identitas sulit dilakukan control terhadap prilaku penyelenggara
pelayanan publik.
Dengan
demikian, terdapat 7 (tujuh) variabel penilaian yang terdiri dari 19 komponen indikator yang menjadi obyek penelitian. Dari
19 komponen indikator tersebut, terdapat 9 komponen indikator yang tersedia dan
10 komponen indikator yang tidak tersedia sehingga secara komulatif diperoleh
tingkat kepatuhan sedang atau zona kuning dengan total nilai 62.
Untuk mengetahui dampak secara langsung yang dialami masyarakat dengan
tidak terpenuhinya standar layanan ini,
peneliti melakukan observasi dan wawancara dengan pengguna layanan.
Peneliti sendiri telah melakukan under
cover atau menyamar sebagai pengguna layanan penerbitan Akta Kelahiran. Ada
beberapa penyimpangan yang terjadi dalam proses penyelenggaraan pelayanan
publik ini antara lain :
-
Petugas yang memberikan
pelayanan tidak menggunakan atribut resmi, sehingga selaku pengguna layanan
harus bertanya siapa petugas yang memberikan pelayanan.
-
Tidak terdapat ketentuan
biaya yang terpampang, sehingga pengguna layanan tidak mengetahui kepastian
biaya yang seharusnya dikeluarkan untuk mendapatkan layanan.
-
Untuk pengurusan akta
kelahiran ternyata harus membayar sebesar Rp. 150.000,-. Dan biaya ini ternyata
untuk kepentingan mempercepat prosesnya.
Untuk mendapatkan perbandingan terkait
kualitas penyelenggaraan pelayanan publik pada Kantor Kecamatan Baruga Kota
Kendari, peneliti melakukan wawancara dengan beberapa pengguna layanan.
Peneliti mendapatkan informasi dari 5 (lima) orang responden yang tidak ingin
identitasnya dibuka yang pada pokoknya menyampaikan bahwa[15] :
-
Dalam pengurusan KTP, tidak
jelas jangka waktu penyelesaian terhadap produk KTP yang dimohonkan. Akan
tetapi itu dapat dipercepat prosesnya dengan membayar sejumlah uang. Menurut
petugas layanan, bahwa uang tersebut untuk biaya penggati transportasi dari
Kantor Kecamatan Baruga ke Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota
Kendari yang jaraknya sangat jauh.
-
Petugas juga tidak
menggunakan atribut, sehingga sulit membedakan antara pengunjung dengan petugas
pemberi layanan.
Sementara itu, dalam pengurusan dokumen Kartu
Keluarga salah satu pengguna layanan[16]
mengeluhkan layanan yang diberikan oleh petugas bahwa :
Petugas diskriminasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Masyarakat yang membayar dengan sejumlah uang kepada petugas mendapatkan
pelayanan yang cepat, sementara yang tidak membayar pelayanan yang diberikan
tidak jelas penyelesaiannya.
Keluhan serupa juga dikeluhkan salah satu
pengguna layanan publik[17] bahwa
:
Pelayanan yang berbelit-belit menghambat kepentingan masyarakat. Saya
sendiri ingin mengurus perpindahan KTP dari kabupaten lain. Akan tetapi,
diwajibkan untuk mencabut KTP terlebih dahulu di daerah asal diterbitkannya
KTP. Hal ini tentu memberatkan bagi masyarakat karena biaya yang dikeluarkan
untuk memenuhi persyaratan tersebut sangat besar karena berada di daerah
provinsi yang berbeda. Karena KTP itu sudah elektronik, seharusnya sistemnya
dapat melakukan perubahan secara otomatis setiap dimohonkan oleh masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut,
penyelengaraan pelayanan publik khususnya untuk pelayanan KTP pada Kantor
Kecamatan Baruga terdapat penyimpangan hukum sebagaimana dimaksud pada Pasal 21
huruf d dan hurf e UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yakni jangka
waktu penyelesaian. Jangka waktu penyelesaian dan ketentuan biaya setiap produk
layananan wajib ditentukan dan ditetapkan dalam Standar Pelayanan Publik. Jika
produk layanan membutuhkan biaya, maka wajib dicantumkan besaran biaya dimaksud
disertai dengan dasar hukumnya. Sebaliknya, jika pelayanan tersebut gratis juga
wajib dicantumkan bahwa pelayanan dimaksud tidak dipungut biaya atau gratis.
Selain itu, permintaan biaya untuk pembuatan
KTP juga bertentangan dengan Pasal 79A UU No. 24 Tahun 2013 Tentang
Administrasi Kependudukan mengatur bahwa “pengurusan dan penerbitan dokumen
kependudukan tidak dipungut biaya”. Dengan demikian, permintaan uang atas
segala pelayanan dokumen kpendudukan bertentangan dengan ketentuan pada pasal
ini. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan pidana sebagaimana
dimaksud pada Pasal 95B UU No. 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan
mengatur bahwa “setiap pejabat dan
petugas pada desa/kelurahan, kecamatan, UPT Instansi Pelaksana dan Instansi
Pelaksana yang memerintahkan dan/atau memfasilitasi dan/atau melakukan pungutan
biaya kepada penduduk dalam pengurusan dan penerbitan Dokumen Kependudukan
sebagaimana dimaksud pada 79A dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 75.000.000,00 (tujuh puluh lima
juta rupiah).
Praktik pungutan liar dalam penyelenggaraan
pelayanan publik tidak dapat dihilangkan tanpa partisipasi aktif masyarakat
dengan cara tidak memberi atau menawarkan kepada petugasnya, melaporkan kepada
lembaga yang berwenang jika ada permintaan uang, barang dan jasa untuk
medapatkan pelayanan.
Buruknya kinerja birokrasi disebabkan karena
rendahnya etika dan moral oleh pejabat birokrasi dalam penyelenggaraan
pelayanan publik yang baik. Pada umumnya pejabat birokrasi belum mampu
menempatkan para pengguna jasa birokrasi sebagai “pelanggan” yang memiliki
kemampuan mempengaruhi nasib diri dan birokrasinya. Para pengguna jas amasih
diperlakukan sebagai klien yang nasibnya ditentukan oleh tindakannya[18].
Peran hukum sebagai salah satu sarana untuk
mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sepatutnya dikedepankan dan ditegakkan
secara benar tanpa pandang bulu. Supremasi hukum yang tegas merupakan cirri
dari Negara demokrasi yang didalamnya terdapat suatu jaminan atas penegakan
hukum tanpa memandang posisi atau kedudukan seseorang baik pejabat birokrasi
sebagai penyelenggara pelayanan publik, maupun masyarakat sebagai pengguna
layanan publik. Hukum diharapkan mampu mewujudkan tujuan tersebut yang pada
akhirnya bermuara pada kesejahteraan rakyat.
Arah kebijakan publik (public policy) telah dibuat secara terencana dan konsisten dalam
mencapai tujuannya, paling tidak ada 3 (tiga) hal penting yaitu ; perumusan
kebijakan publik, implementasi kebijakan publik, dan evaluasi kebijakan. Dari
segi perencanaan kebijakan telah dituangkan dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang secara spesifik diatur dalam UU N0. 37 Tahun 2008
Tentang Ombudsman Republik Indonesia, UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan
Publik dan berbagai peraturan lainnya.
Dari segi implementasi kebijakan, secara umum
sangat lemah dan ironisnya juga tidak diikuti dengan evaluasi kebijakan secara
berkala. Berdasarkan hasil penelitian pada Kantor Kecamatan Baruga Kota Kendari,
diketahui bahwa dokumen Standar Pelayanan Publik yang menjadi acuan bagi
penyelenggara maupun pengguna layanan publik belum tersusun yang didalamnya
memuat komponen standar pelayanan publik. Sehingga, problem penyelenggaraan
pelayanan publik tidak pernah berakhir karena masyarakat tidak mengetahui
secara jelas apa yang menjadi hak dan kewajibannya, begitupula penyelenggara
pelayanan publik juga tidak memahami secara benar tanggung jawabnya.
BAB VI. PENUTUP
6.1.
Kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk
pelayanan pada tiga jenis layanan yakni pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP),
Kartu Keluarga (KK) dan Akta Pencatatan Sipil pada Kantor Camat Baruga Kota
Kendari bahwa tingkat kepatuhan hukum terhadap UU No. 25 Tahun 2009 Tentang
Pelayanan Publik masuk kategori sedang atau zona kuning. Dari 20 (dua puluh)
komponen indikator yang dinilai, hanya ada 9 (Sembilan) indikator saja yang
terpenuhi dengan total nilai 62 (enam puluh dua). 11 (sebelas) komponen
indikator lainnya tidak tersedia yang seharusnya wajib tersedia disetiap
instansi penyelenggara pelayanan publik.
6.2.
Saran.
1. Kepada Pemerintah Kecamatan Baruga, agar menyususn Standar Pelayanan
Publik agar dapat menjadi acuan dalam penyelennggaraan Pelayanan Publik.
2. Kepada Walikota Kendari, perlu dilakukan evaluasi penyelenggaraan
pelayanan publik pada setiap instansi layanan publik.
3. Kepada masyarakat agar aktif melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pelayanan publik.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rustan, 2012. Peran Ombudsman Republik Indonesia Dalam Perbaikan Pelayanan Publik. Jurnal
Hukum LEGITIME Volume II. No. 2 Edisi Desember 2015 diterbitkan oleh Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari.
H. Lili Rasjidi dan Liza Rasjidi, 2016. Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung
: PT. Citra Aditya Bakti.
Hj. Jum Anggriani, 2012. Hukum
Administrasi Negara. Yogyakarta : Graha Ilmu.
H. Juniarso Ridwan dan
Achmad Sodik Sudrajat, 2010. Hukum
Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik. Bandung : Nuansa;
Cetakan I.
Inu Kencana, 2010. Hukum Administrasi
Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Bandung :
Nuansa.
Irawan Prasetya, 2004. Logika
dan Prosedur Penelitian (Pengantar Teori dan Panduan Praktis Penelitian Sosial
bagi Mahasiswa dan Peneliti Pemula, Jakarta, STIA LAN PRESS
Joenaedi Efendi dan Johnny Ibrahim,
2016. Metode Penelitian Hukum Normatif
dan Empiris, Jakarta : Prenadamedia Group.
Muh. Jurfi Dewa, 2011. Hukum Administrasi Negara Dalam Perspektif Pelayanan Publik,
Kendari : Unhalu Press
Peter Mahmud Marzuki, 2016. Metode Penelitian Hukum, Jakarta :
Prenadamedia Group.
Ridwan HR, 2011. Hukum
Administrasi Negara Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Soerjono Soekanto, 1982. Kesadaran Hukum Dan
Kepatuhan Hukum, Jakarta : CV Rajawali
Siswanto Sunarno, 2009. Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika
UU No. 37 Tahun 2008
Tentang Ombudsman Republik Indonesia
UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
UU No. 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan.
TribunNews.Com
[1] H. lili Rasjidi dan Liza Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum. PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2016. Hlm. 82-84.
[5]
Muh. Jurfi Dewa, Hukum
Administrasi Negara Dalam Perspektif Pelayanan Publik, (Kendari : Unhalu
Press), 2011. Hlm. 97
[6] H. Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik
Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan
Kebijakan Pelayanan Publik. Bandung : Nuansa; Cetakan I; 2010. Hlm. 82
[8] Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan
Publik. Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2005. Hlm. 18-19.
[9] Ahmad Rustan,
2012. Peran Ombudsman Republik Indonesia
Dalam Perbaikan Pelayanan Publik. Jurnal Hukum LEGITIME Volume II. No. 2
Edisi Desember 2015 diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Kendari. Hlm. 34
[11] Joenedi Efendi, Metode
Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Prenadamedia Group, Jakarta. 2016.
Hlm. 124.
[18]
Nur Nashriani Jufri (Akademisi
Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo), wawancara pada tanggal 04 November 2016.
Posting Komentar